Connect with us

News

Uji Kelayakan Duta Besar: Tafsir Konstitusi



Oleh: Sunny Ummul Firdaus



Guru Besar Hukum Tata Negara, Universitas Sebelas Maret Surakarta


DALAM

sistem ketatanegaraan Indonesia, pengangkatan duta besar merupakan kewenangan Presiden sebagai kepala negara sekaligus pelaksana hubungan luar negeri.

Konstitusi, Pasal 13 ayat (2) UUD 1945, menetapkan bahwa dalam mengangkat duta, Presiden harus memperhatikan pertimbangan DPR.

Meski demikian, Mahkamah Konstitusi telah menegaskan bahwa pertimbangan tersebut bersifat tidak mengikat.

Artinya, Presiden tidak memerlukan persetujuan DPR, dan keputusan akhir tetap berada di tangan Presiden.

Sayangnya, praktik uji kelayakan calon duta besar oleh DPR belakangan ini sering melampaui fungsi pertimbangan itu sendiri.

DPR kerap berpersepsi sebagai pemutus akhir, bahkan dalam menolak atau mengatur penempatan calon, yang secara konstitusional merupakan hak prerogatif Presiden.

Fenomena ini menunjukkan pentingnya penegasan kembali batas-batas kewenangan lembaga negara agar pengangkatan duta besar tetap berada dalam koridor konstitusi.


Tafsir dan Pelampauan

Dalam praktiknya, uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) oleh Komisi I DPR terhadap calon duta besar sering dianggap sebagai forum pengambilan keputusan final.

Padahal, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 27/PUU-XI/2013 telah menegaskan bahwa “memperhatikan pertimbangan” bukanlah “memperoleh persetujuan”.

Sayangnya, realitas politik berkata lain. Sejumlah pernyataan dari wakil rakyat secara terbuka menyebut bahwa DPR dapat “menerima atau menolak” calon duta besar yang diajukan pemerintah.

Dalam salah satu pernyataannya kepada media, seorang anggota DPR bahkan menyatakan, “Kalau layak, berarti lolos. Kalau tidak layak, berarti tidak lolos.”

Pernyataan ini menunjukkan pergeseran peran DPR dari pemberi pertimbangan menjadi lembaga penentu.

Dalam pernyataan lain, anggota DPR, Sukamta, bahkan menegaskan bahwa DPR tak segan menolak calon yang dinilai tidak layak, serta merekomendasikan penempatan alternatif.

Sikap seperti ini mencerminkan kecenderungan DPR menjalankan fungsi seleksi, bukan sekadar memberi catatan kepada Presiden.


Konstitusi dan Hak Prerogatif

Konstitusi Indonesia menganut sistem presidensial, yang menempatkan Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.

Dalam sistem ini, pengangkatan duta besar merupakan hak prerogatif Presiden yang bersifat eksekutif penuh.

Fungsi DPR dalam Pasal 13 ayat (2) adalah fungsi pengawasan dalam makna sempit, yakni memberikan masukan dan pertimbangan, bukan menyetujui atau menolak.

Ketika DPR melampaui batas tersebut, terjadi distorsi fungsi legislatif dan pelanggaran semangat konstitusi.

Mahkamah Konstitusi dengan tegas menyatakan bahwa frasa “memperhatikan pertimbangan” bukanlah bentuk persetujuan atau pemilihan.

Artinya, Presiden tidak terikat secara hukum pada hasil fit and proper test. Pertimbangan DPR adalah bagian dari mekanisme checks and balances yang bersifat normatif, bukan veto institusional.


Dampak Praktik Menyimpang

Terdapat sejumlah konsekuensi serius apabila praktik penyimpangan ini terus berlanjut. Pertama, hak prerogatif Presiden akan terdegradasi secara sistemik.

Kedua, diplomasi Indonesia berpotensi dirusak oleh kepentingan politik jangka pendek. Ketiga, hubungan luar negeri Indonesia dapat terganggu akibat keterlambatan dalam rotasi duta besar.

Diplomasi modern menuntut kelincahan, kesinambungan, dan profesionalisme. Ketika jabatan strategis seperti duta besar ditarik ke dalam pusaran politik domestik, maka yang dipertaruhkan bukan hanya independensi pejabat, tetapi juga efektivitas diplomasi Indonesia secara keseluruhan.

Politik dalam negeri tidak semestinya menjadi faktor dominan dalam seleksi wajah luar negeri kita.


Kembali ke Konstitusi

Sudah saatnya mekanisme uji kelayakan calon duta besar dikembalikan ke jalur konstitusi.

DPR perlu menempatkan diri sebagai pemberi pertimbangan, bukan lembaga penyaring akhir. Presiden tetap memegang keputusan final sebagai pemilik mandat kedaulatan rakyat.

Perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap tata tertib DPR, khususnya Pasal 231 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Peraturan Tata Tertib DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, agar tidak membuka ruang interpretasi prosedural yang rawan penyimpangan.

Keterbukaan dan akuntabilitas publik dalam uji kelayakan juga perlu diperkuat. Untuk itu, setiap ayatnya harus ditafsirkan dengan jelas.

Ayat (1) menyatakan bahwa Komisi I DPR berwenang melakukan fit and proper test terhadap calon duta besar. Ayat (2) menekankan kerahasiaan proses sebagai bentuk menjaga hubungan diplomatik.

Namun, klausul ini sering menjadi celah untuk menghindari transparansi publik. Ayat (3) menegaskan bahwa hasil pembahasan hanya dilaporkan, bukan diputuskan, selaras dengan tafsir konstitusional bahwa DPR memberi pertimbangan, bukan persetujuan.

Dalam jangka panjang, penguatan sistem presidensial Indonesia harus dibarengi dengan kesadaran antar lembaga negara untuk menahan diri dalam koridor wewenang masing-masing. Checks and balances tidak boleh bergeser menjadi saling menghambat.


Penutup

Pasal 13 UUD 1945 mengatur relasi yang seimbang antara Presiden dan DPR dalam pengangkatan duta besar.

Namun, keseimbangan itu hanya akan terjaga jika masing-masing lembaga taat pada batas konstitusionalnya.

Presiden bertindak berdasarkan pertimbangan, bukan persetujuan. DPR memberi masukan, bukan menetapkan.

Kepastian hukum dalam tata kelola negara tidak hanya lahir dari teks, tetapi juga dari praktik yang konstitusional.

Dalam hal ini, menjaga tafsir Pasal 13 UUD 1945 tetap murni bukan sekadar formalitas, melainkan bagian dari menjaga marwah sistem presidensial Indonesia.

(*)

Sosialpolitik dan pemerintahanfuture

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *