Connect with us

Polres Samosir Temukan Bukti Penebangan Liar di Hutan Lindung KTH Dosroha, Bantah Klaim Hoaks BPSSU

Polres Samosir Temukan Bukti Penebangan Liar di Hutan Lindung KTH Dosroha, Bantah Klaim Hoaks BPSSU

pinare.online, SAMOSIR–Kepolisian Resor (Polres) Samosir tengah mendalami dugaan pembalakan liar di kawasan Hutan Lindung Pulau Samosir, yang terlihat jelas melalui rekaman drone pada Jumat (30/5/2025).

Dalam video tersebut tampak sejumlah pohon telah ditebang dan dibakar di wilayah Kelompok Tani Hutan (KTH) Dosroha, Desa Simbolon Purba, Kecamatan Palipi.

Kawasan yang terdampak penebangan ini termasuk ke dalam wilayah hutan lindung diantara luasan sekitar 469 hektar, yang dikelola oleh KTH Dosroha lewat skema Hutan Kemasyarakatan (HKM), program yang disetujui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta berada di bawah tanggung jawab Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) XIII Dolok Sanggul.

Beberapa waktu lalu, Perwakilan Balai Perhutanan Sosial Wilayah Sumatera Utara Kristian Banjarnahor, buru-buru membantah lewat pernyataannya di media.

Ia menyebut isu tersebut sebagai hoaks. “Memang kami menemukan beberapa pohon yang telah ditebang, namun itu dilakukan oleh kelompok tani HKM Dosroha sebagai bagian dari inisiatif pemagaran areal pertanian mereka. Jadi informasi yang beredar di media sosial tersebut dipastikan hoaks,” katanya.

Namun realitas di lapangan bicara lain. Pihak Kepolisian tidak tinggal diam. Melalui Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim), penyelidikan terus bergulir.

“Kita memang menemukan sesuai dengan yang diviral-kan tersebut, ada memang pohon yang dilakukan penebangan dan terus kita lakukan penyelidikan dan nanti akan kita beritahukan perkembangannya,” ujar Kasat Reskrim Polres Samosir, AKP Edward Sidauruk, Sabtu (4/7/2025).

Lebih lanjut, ia menegaskan "ada beberapa tungkul pohon yang ditebang kita saksikan langsung di lapangan, dan saat ini telah mengambil keterangan para pihak terkait nantinya untuk dapat ditingkatkan nantinya proses penyelidikannya ke penyidikan,” tegasnya.

Menurutnya, koordinasi dengan KPH XIII sudah dilakukan. Pengurus KTH Dosroha pun dipanggil untuk klarifikasi.

“Pemanggilan klarifikasi telah dilakukan kepada Pengurus KTH Dosroha dan terus kita lakukan pendalaman terhadap para saksi,” tambah AKP Edward.

Namun, penyelidikan ini seakan berjalan sendirian. KPH XIII, yang seharusnya menjadi benteng utama perlindungan hutan, justru memilih diam.

Ketika dimintai tanggapan soal potensi pencabutan status Geopark oleh UNESCO, Kepala UPT KPH XIII, Esra Sardina Sinaga, hanya menjawab ringan dengan mengatakan "Kami tidak bisa mengukur.”

Dan saat ditanya tentang rekaman drone yang menunjukkan penebangan masif dia menyebut "Kalau terbukti merusak, akan kami tindak.”

Namun hingga saat ini, tidak ada tindakan nyata. Pohon-pohon terus tumbang, dan pengawasan tetap absen.

Padahal sejak September 2023, UNESCO sudah memberi ultimatum dua tahun kepada pemerintah untuk memperbaiki tata kelola Kaldera Toba.

Tetapi yang terjadi justru pembiaran. Hutan lindung diserahkan ke kelompok-kelompok masyarakat tanpa pengawasan memadai. Dan sekarang, sanksi internasional hanya tinggal menunggu waktu.

Pemerhati lingkungan Wilmar Simanjorang menilai bahwa kerusakan hutan lindung di Pulau Samosir tidak boleh semata-mata dilihat sebagai pelanggaran teknis oleh sekelompok petani.

Ia menyebut, masalah utama justru berada di hulu pada lemahnya penerapan persyaratan dalam pengelolaan Kelompok Tani Hutan (KTH) dan buruknya fungsi pengawasan oleh lembaga yang seharusnya bertanggung jawab.

Menurutnya, KTH hanya boleh dibentuk oleh warga yang memiliki hubungan langsung dengan kawasan hutan, yakni masyarakat sekitar yang memiliki kesamaan kepentingan, latar belakang, dan aktivitas ekonomi di bidang kehutanan.

Hal ini harus dibuktikan dengan dokumen identitas resmi. Namun yang sering terjadi, identitas hanya dicatut atau dipinjam untuk memenuhi kuota administratif.

Wilmar mempertanyakan secara langsung keabsahan struktur KTH Dosroha yang saat ini tengah disorot. Apakah benar semua anggotanya berasal dari desa sekitar hutan atau hanya nama-nama yang dikumpulkan demi memenuhi syarat pendirian.

Lebih jauh, ia menyoroti struktur organisasi KTH yang wajib dibentuk secara sah dan dijalankan secara aktif. Kepengurusan harus jelas, berjalan melalui musyawarah, dan diisi oleh petani yang benar-benar mengelola usaha kehutanan.

Namun yang ditemukan di lapangan, banyak KTH justru tidak memiliki struktur fungsional, melainkan hanya lembaga formal di atas kertas.

Wilmar juga mengingatkan bahwa seluruh KTH harus memiliki registrasi resmi yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan, didukung dokumen legal seperti Surat Keputusan Kepala Desa dan daftar pengurus lengkap.

Tanpa ini, seharusnya kelompok tidak bisa menjalankan kegiatan di kawasan hutan. Namun ironisnya, ada banyak KTH yang tetap diberi akses, meski syarat dasar ini tidak dipenuhi atau bahkan tidak diverifikasi secara serius oleh pemberi izin.

Poin penting lain yang kerap diabaikan adalah klasifikasi kinerja KTH. Setiap kelompok sebenarnya wajib dinilai dari aspek kelembagaan, kelola kawasan, dan kelola usaha.

Penilaian ini menentukan status kelompok, mulai dari kategori pemula, madya, hingga utama, tergantung pada skor yang diperoleh.

"Penilaian ini bukan formalitas, melainkan alat kontrol yang menunjukkan apakah suatu KTH layak diberi kepercayaan mengelola kawasan hutan. Tapi pertanyaannya, apakah klasifikasi ini benar-benar dilakukan? Apakah KTH Dosroha pernah dinilai kinerjanya secara objektif?,"ujar Wilmar.

Lebih miris lagi, kata Wilmar pembinaan dan pengawasan terhadap KTH seharusnya menjadi kewajiban pemerintah. Pendampingan oleh penyuluh, monitoring tahunan, dan evaluasi berkala harus dilakukan agar kelompok tidak menyimpang dari tujuan awal program.

"Namun dalam praktiknya, banyak kelompok dibiarkan berjalan sendiri tanpa pengawasan, sementara lembaga pembina sibuk menyusun laporan administratif,"jelasnya.

Wilmar menegaskan, bila semua proses ini dilakukan secara ketat dan benar, maka penyimpangan bisa dicegah sejak awal. Tapi jika semua dijalankan hanya sebagai rutinitas administratif tanpa integritas, maka kerusakan tinggal menunggu waktu.

Menurutnya, program Hutan Kemasyarakatan seharusnya menjadi jembatan bagi kesejahteraan warga dan pelestarian kawasan, bukan justru menjadi topeng legal bagi perusakan hutan yang sistematis.

Ia menyatakan dengan tegas "Jangan pura-pura kaget kalau hutan rusak, kalau sejak awal semua proses dijalankan tanpa niat melindungi. Ini bukan sekadar pembiaran, ini adalah pengkhianatan terhadap ekologi Danau Toba yang dibungkus atas nama pemberdayaan.”

Dan ia menutup pernyataannya dengan dengan tajam. "Kalau pengawasan hanya dijalankan lewat tumpukan dokumen di kantor, lalu siapa pun bisa menebang pohon asal pakai seragam kelompok tani, maka yang kita saksikan hari ini bukan pembangunan berkelanjutan, melainkan penghancuran terstruktur yang dilegalkan,"kritiknya.

Tikwan Raya Siregar, anggota Badan Pengurus Geopark Kaldera Toba, melontarkan kritik tajam Penetapan geopark bukan membatasi aktivitas masyarakat, kecuali yang ilegal.

Tamparan keras untuk para pejabat yang gemar menyulap aktivitas destruktif menjadi program “pemberdayaan.”

“Saya kira tidak seharusnya pelestarian hanya dirujuk pada green card dari UNESCO. Itu sangat tidak mendidik,” katanya.

Di lapangan, penebangan bukan lagi insidental. Diduga terstruktur dan meluas. Dan saat hutan berubah menjadi komoditas, status Geopark Kaldera Toba yang diperjuangkan bertahun-tahun bisa menguap begitu saja.

Anggota Komisi VII DPR RI, Bane Raja Manalu, pun telah mengingatkan keras pemerintah untuk serius menjaga Kaldera Toba. Namun peringatan itu seperti angin lalu di telinga para pelaksana di lapangan.

(Jun-pinare.online).

Sosialberitafuture

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *