Paradoks Politik dan Hiburan KDM
Dua hari lalu, di beranda TikTok saya, FYP-nya lain daripada yang lain. Bukan bocah SMA berjoget. Bukan juga voice-over yang mengaku mantan peretas NASA.
Tapi Kang Dedi Mulyadi (KDM), Gubernur Jawa Barat yang baru saja dilantik, sedang berdebat dengan warga Jabar. Alot.
Lawan bicaranya bukan ilmuwan, bukan pula wartawan, apalagi profesor hukum lingkungan. Tapi orang biasa.
Mukanya tak terlalu jelas karena kamera goyang, suaranya pelan tapi mantap. KDM bertanya, dengan intonasi tinggi, "Apa kontribusi anda pada daerah, hingga Anda seenak udel memanfaatkan lingkungan sekitar?"
Jawabannya: "Saya bayar pajak, Pak. Usaha saya juga bayar pajak." Itu saja.
Tapi jawaban itu seperti gol menit 90 dari pemain tanpa nama yang tiba-tiba menyepak bola ke gawang sang gubernur.
KDM terlihat kikuk. Ada jeda. Sorot matanya ragu. Argumennya melompat-lompat. Penonton tahu: si akang menang debat.
Padahal ini bukan debat resmi. Mungkin hanya konten. Tapi justru itu masalahnya. KDM tampak terlalu ringan untuk ukuran gubernur baru. Kalau pun gimmick, tak lucu. Kalau pun serius, ia kalah.
Tak seharusnya seorang gubernur bertanya "berapa kamu bayar pajak?" Itu bukan pertanyaan cerdas. Juga tidak adil. Pajak itu bukan soal angka, tapi soal kepatuhan.
Soal integritas hubungan warga dan negara. James dan Alley (2002) dalam bukunya Tax Compliance, Self-Assessment and Tax Administration, menulis:
"Kepatuhan pajak bukan ditentukan oleh tarif atau jumlah nominal. Tapi oleh persepsi wajib pajak bahwa sistem ini adil dan negara layak dipercaya." (James & Alley, 2002, hlm. 31)
Dengan kata lain, substansi pajak adalah tentang legitimasi. Ketika warga percaya sistem bekerja adil, mereka membayar dengan kesadaran.
Bukan karena takut, bukan karena terpaksa. Tetapi karena mereka merasa bagian dari negara.
Debat KDM tadi justru menyingkap apa yang hilang dari birokrasi kita: pemahaman bahwa pajak adalah kontrak sosial. Negara tidak boleh hanya menagih, tapi juga mesti membuktikan dirinya layak dipercaya.
Tapi kita memang hidup di zaman yang aneh. Di mana yang benar adalah yang viral. Yang logis kalah oleh yang lucu.
Zeynep Tufekci, profesor dari Columbia University dalam Twitter and Tear Gas (2017), sudah mengingatkan:
"Di media sosial, yang dilihat orang bukanlah apa yang benar, tapi apa yang menyentuh emosi." (Tufekci, 2017, hlm. 45)
Debat KDM dengan si akang itu, mungkin viral. Tapi substansi yang benar justru diucapkan si akang: bahwa dirinya pembayar pajak. Dan warga seperti dia-lah yang mengisi kantong fiskal Jawa Barat.
Dari uang merekalah gaji KDM dibayar. Dari usaha mereka-lah APBD disusun, program disalurkan, jalan dibeton, dan insentif ASN dicairkan.
Jadi kalau ada usaha warga yang berdampak pada lingkungan, bukan warganya yang harus dihakimi duluan, tapi sistem birokrasi yang gagal mengatur.
Kita sedang bicara sistem. Bukan hanya soal akhlak warga. Mari buka datanya.
Jawa Barat itu luas: 35.377 km. Jumlah penduduknya 49,9 juta jiwa. Artinya, satu dari lima warga Indonesia ada di provinsi ini.
Lalu ada 200-an tambang galian C ilegal tersebar di 17 kabupaten/kota. (Data: ESDM Jabar, 2024)
Maka wajar jika publik bertanya: apakah cukup seorang gubernur hanya membuat konten sambil menyapa warga satu-satu, tanpa membenahi sistem birokrasi teknokratiknya?
Bisa kah tambang-tambang itu diawasi hanya dengan cara ngobrol dari pinggir jalan? Kita masuk ke teori klasik.
Max Weber, bapaknya teori birokrasi modern, sudah menjelaskan jauh-jauh hari bahwa birokrasi adalah sistem yang rasional, hirarkis, dan berbasis aturan tertulis. Tujuannya: efisiensi dan prediktabilitas.
"Birokrasi adalah mesin kekuasaan yang paling efisien sepanjang sejarah umat manusia." (Weber, "Economy and Society", 1922/1978, hlm. 223)
Tapi Weber juga mengingatkan bahayanya: birokrasi akan gagal kalau pemimpinnya justru menggantikan sistem dengan personalisasi kekuasaan.
Maka, jika seorang gubernur lebih sibuk membangun citra pribadi ketimbang sistem, maka sistem itu akan mandek.
Herbert Simon, peraih Nobel Ekonomi 1978, dalam Administrative Behavior (1947), menegaskan: birokrasi bukan sekadar kumpulan pegawai.
Tapi jaringan keputusan yang sistematis, berbasis data, dan rasional. Kalau pemimpin tidak bicara dengan angka, maka ia bicara dengan angan.
Dan inilah yang harus disadari: Jawa Barat tidak bisa dikendalikan dengan jumlah followers. Tapi dengan jumlah inspektur tambang yang memadai.
Dengan database industri ekstraktif yang transparan. Dengan protokol lingkungan yang tertulis dan ditegakkan.
Kalau sistem itu bekerja, maka tak perlu KDM harus turun langsung. Tak perlu ia tanya satu per satu, "berapa kamu bayar pajak?" Karena sistem akan mencatat sendiri.
Sistem akan mengukur, menindak, dan mengatur. Sistem akan memproses semua warga tanpa perlu kamera.
Birokrasi itu sistem. Seperti sirkulasi darah dalam tubuh. Kita tak bisa melihat darah itu mengalir, tapi kita tahu tubuh ini hidup karenanya.
Jika sistem tak bekerja, pemimpin akan sibuk menambal lubang dengan suara tinggi. Menyalahkan warga satu-satu. Menuding yang kecil, menutup yang besar. Dan publik hanya disuguhi konten, bukan kebijakan.
KDM boleh bicara soal keadilan lingkungan. Tapi ia harus sadar, ia sudah gubernur sekarang. Dan gubernur bukan pengelola kanal YouTube.
Ia adalah kepala pemerintahan. Dan pemerintahan bukan tentang engagement, tapi tentang governance.
Maka pertanyaan sesungguhnya bukan pada si akang. Tapi pada sistem yang tak mampu mengatur akang-akang lain di pelosok Jabar.
Pada birokrasi yang tidak cukup punya technocratic capability untuk menegakkan regulasi lingkungan.
Karena pada akhirnya, pemimpin bukan untuk menyalahkan warga. Tapi menyempurnakan sistem agar warga tak perlu disalahkan.
Sosialpolitik dan pemerintahanfuture
