Connect with us

Opini: "Staf" Sepatu di Kaki, Topi di Kepala


Oleh: Marsel Tupen Masan


(Pensiun pegawai Pemda NTT)


pinare.online

Komunikasi sangat buruk antara Bupati Sumba Barat Daya dengan Staf, sebagaimana ramai di media sosial sejak 1 Juli 2025, mempertontonkan ironi penyelenggaraan pemerintahan daerah oleh kepala daerah.

Kisruh debat kusir antara bupati dan staf, bukan sekadar menyampaikan peristiwa, tetapi membentuk persepsi dan mengarahkan emosi, oleh pertarungan narasi yang kasat mata antara wacana dan figur.

Narasi konflik ini bisa saja ditafsir secara berbeda-beda. Seperti hadirnya bupati di kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan untuk langsung menyelesaikan persoalan terhambatnya nasib masyarakat (guru), adalah wacana yang mewakili interpretasi masalah, yang ditafsir publik hanya untuk mengambil posisi pencitraan diri.

Posisi ini umumnya dilakukan oleh kepala-kepala daerah “mengeforiakan diri” pasca reformasi. Namun pola yang terjadi di SBD ini, tidak menguntungkan pencitraan kepala daerah sendiri.

Oleh karena sang figur sendiri mengalami kegagapannya dalam berkomunikasi,  dengan menghadirkan pesan yang tidak elok, kepanikan staf dalam melihat citra kepemimpinannya dan kredibilitas kerja birokrasi.


Anomali kekuasaan

Realisme kepemimpinan ini memperlihatkan anomali. Ketika kekuasaan  yang seharusnya, mencahayakan wibawa roh kekuasaan, disimpangkan oleh legalisasi prosedur kekuasaan. Bupati sendiri telah melakukan ketidakpatuhan pada prosedur tata kelola pemerintahannya sendiri.

Jika ada permasalahan masyarakat, seperti gaji guru yang tidak dibayar, maka ada mekanisme kerja  yang dilakukan bupati untuk mengetahuinya secara berjenjang dan berimbang, melalui hirarki jabatan birokasi yang melekat pada kekuasaannya.

Berangkat dari masalah gaji guru yang tidak dibayar, maka bupati seharusnya memberi perintah kepada Sekretaris Dearah untuk mengeceknya langsung kepada Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.

Tugas mengecek staf adalah kewenangan kepala dinas, dan melaporkan hasilnya kepada Bupati melalui Sekda. Bukan Bupati sendiri turun  langsung dan menghardik staf, dengan mengabaikan hirarkhi kekuasaan yang melekat pada jabatan di lingkungan pemerintahannya. Ada efek yang sangat memprihatinkan dari perilaku kekuasaan ini.

Pertama, pemaksaan kehendak pada staf yang berada pada jenjang yang bukan seharusnya dikonfirmasi, dengan sendirinya merontokkan nilai-nilai tanggung jawab kerja birokrasi yang terstruktur.

Sehingga birokrasi berada pada kohirensi internal pensakralan budaya memerintah tanpa prosedur koordinasi untuk mengetahui substansi masalah. Sikap ini bisa saja terjadi, karena Bupati tidak mempercayai Sekda dan Kadis, sehingga langsung menemui staf.

Pendekatan ini memunculkan pertanyaan: apakah tidak ada cara yang lebih santun untuk menggali permasalahan dan mencarikan solusi berdasarkan mekanisme kelembagaan birokrasi? Apabila ada kelalaian staf dalam menghambat pembayaran gaji guru, maka harus ditelusuri secara komperhensif.

Bukan langsung menemui staf dengan membawa rombongan dan menghardiknya penuh emosi di ruang terbuka. Ada kewenangan memanggilnya, menanyakan langsung dan memberi tindakan (sanksi) secara lebih santun sesuai kekuasaan yang melekat pada bupati.

Bagi publik, perilaku ini bisa jadi sebuah bungkusan selimut cara pandang dan cara kerja prasangka, dengan sentimen personal. Apakah perilaku ini terkait dendam pasca pilkada?

Perlu kajian. Namun pada umumnya, trend kekuasaan kepala daerah hari ini selalu memantulkan setelan mental (mindset) pasca meraih kemenangan, untuk pemosisian kekuasaan pada  upaya-upaya balas dendam karena ketidaksukaan pada person tertentu, dan balas jasa politik bagi personalia yang lain karena telah mendukung keterpilihannya.

Kedua, pemaksaan kehendak dengan menjatuhkan palu keputusan untuk memeriksa staf oleh Inspektorat Daerah yang diucapkan spontan penuh emosi kekuasaan, adalah otoritarianisme kepemimpinan dan arogansi kekuasaan.

Pendekatan ini, dengan sendirinya merontokkan upaya pendidikan dan pemberdayaan manusia aparatur yang paling fundamental, karena ketiadaan makna normatif penyelenggaraan birokrasi pemerintahan.

Dengan sendirinya birokrasi dilaksanakan dalam ketiadaan komitmen dan ketiadaan makna yang dalam. Norma-norma yang melekat seperti kaidah normatif penyelenggaraan birokrasi, di telingkungi kekuasaan dengan mengabaikan kaidah-kaidah organisatoris ke arah obsesi pencitraan materiil.

Obsesi ini, selalu diikuti dengan akumulasi kepentingan yang semakin kompleks, baik dari segi sifat maupun jumlah dalam pengambilan keputusan.

Akibatnya legitimasi tindakan dan tanggung jawab atas kinerja, tidak merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Bukan Abdi Kekuasaan

Dampaknya, muncul ketiadaan rasa hormat staf dengan langsung membantah secara terbuka pada perlakuan kekuasaan ini.

Bagi staf yang memahami makna bekerja sebagai abdi negara, maka pengoperasian pemahaman dalam bekerja adalah menjadi ”abdi negara”, bukan ”abdi kekuasaan”. Walaupun bekerja pada kekuasaan.

Artinya kekuasaan memiliki siklus lima tahunan ”datang dan pergi”, sedangkan kerja terpahami sebagai proses aktualisasi diri melalui ketertundukan pada tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang dipercayakan padanya, bukan suatu perantauan ekonomis atau politik.

Ada reward dari pekerjaan, adalah hak pembayaran gaji yang didapatkan dari ”negara”, bukan dari ”kepala daerah”. Apalagi kehadirannya pada sebuah lembaga pemerintah, telah dilalui melalui mekanisme rekrutmen, proses seleksi dan penempatan berdasarkan pendidikan, keahlian dan keterampilan.


Sepatu di kaki

Sehingga ketika ditekan dalam manajemen komunikasi huru hara, staf yang bersangkutan menyadari bahwa: (1) ada penyebaran informasi yang diterima secara sepihak oleh Bupati tanpa konfirmasi secara berjenjang melalui manajemen pemerintahan; (2) ada perasaan tertekan oleh ancaman, upaya merugikan, dan mempermalukan dirinya di ruang publik. Sehingga secara spontan melakukan perlawanan dengan membantah pernyataan bupati.

Menggeliatnya perlawanan ini, dengan sendirinya membuka jendela kontekstual kita tentang keterlibatan staf sebagai aparatur dalam pelaksanaan tugas-tugas birokrasi. Pada perspektif psikodinamika, aparatur memang harus terlibat dengan dinamika kekuasaan.

Oleh karena secara ideal aparatur dan birokrasi adalah penghubung antara kepentingan negara dan masyarakat sebagaimana dikatakan Hegel. Apabila kekuasaan dijalankan untuk kemuliaan kepentingan umum, maka keterlibatan aparatur dengan serta merta memberi roh bagi bertumbuhkembangnya kecerdasan peran untuk memediasi persoalan masyarakat dengan kekuasaan.

Namun kalau kekuasaan dilumpuhkan dalam kekuatan privilese pencitraan diri, maka apa yang dilakukan adalah mengisolasi aparatur, dan dipaksa menjadi abdi penguasa.

Pemaksaan ini dalam praktek, selalu dipersempit oleh eksklusivitas arogansi kekuasaan dengan sinisme umum, memandang aparatur seolah “sepatu di kaki topi di kepala”.

Sepatu walau harganya sejuta rupiah, tetap berada dikaki. Sedangkan topi walau harganya seratus perak, tetap di kepala. Artinya sehebat-hebatnya staf dengan keterampilan dan kemampuan akademik yang memadai, loyalitas pada tugas pekerjaan dan mampu menyesuaikan diri pada setiap rezim yang silih berganti, namun tetap direndahkan.

Sedangkan kepala walau dilahirkan dari kaderisasi dunia preman dan penjahat berdasi, tetaplah di atas kepala. Walaupun seorang kepala (pimpinan, atasan) selalu bekerja dengan otak kosong, dia tetap di atas kepala.

Agar buruknya komunikasi kepala daerah di SBD dengan staf, dapat menjadi pelajaran yang berarti bagi kita semua, maka:

Pertama, perlu adanya transparansi penyelesaian keluhan masyarakat. Jika ada laporan masyarakat, maka harus ada koordinasi teknis untuk mengetahui permasalahannya secara utuh dari instansi teknis terkait.

Fenomena ini menggambarkan bahwa di era reformasi dengan kuatnya semangat keterbukaan, sebagian kepala daerah masih tetap berpikir dan bertindak sebagai penguasa tunggal.

Oleh karena suaranya, harus diterima oleh staf sebagai sabda Tuhan dan keinginannya adalah undang-undang yang harus dilaksanakan oleh staf.

Kedua, menyelesaikan masalah dengan mentaati standard kinerja di setiap institusi yang dapat dikur dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenangnya.

Oleh karena dalam sebuah patokan kerja produktif, ratifikasi segala kemungkinan bagi kekuasaan untuk bertindak seenaknya, perlu dikembalikan pada koridor pengembangan kinerja kekuasaan, demi bangkitnya proses pencerahan budi dan sikap kritis terhadap kepentingan publik.

Kesadaran sehat hanya akan tumbuh bila jaringan-jaringan wacana informasi terbuka dan transparansi, digaungkan secara terus menerus untuk menangapi penindasan staf oleh politik pengkambinghitaman kepala daerah.

Ketiga, perlu kehati-hatian bertindak di zaman anarki komunikasi ini. Oleh karena siapa saja bisa membuat pesan, menyampaikannya, menafsirkan pesan, dan mempublikasikannya.

Sehingga kebenaran sebuah pesan bukanlah ditentukan oleh otoritas penyampaian pesan atas pesan yang disampaikan, tetapi oleh persepsi publik atas publikasi yang tidak berimbang, namun di telan dalam kebenaran fakta.

Realitas sosiologis menunjukkan bahwa, masyarakat kita dewasa ini telah terfragmentasi oleh komunikasi tanpa batas dengan relasi sosial yang tidak tulus.

Keempat, ketidaktulusan ini juga Nampak pada cara mengidentikkan staf (pegawai negeri) sebagai pegawai pemerintah, sehingga harus tunduk patuh pada kekuasaan pemerintah. Padahal antara negara dan pemerintah itu berbeda. Negara itu sifatnya abadi, sedangkan pemerintah terkena hukum rotasi.

Pada saat menjadi instrumen pemerintah, aparatur (staf) menjadi instrumen negara,  yang menjadi penghubung kepentingan negara dan masyarakat, bukan mematikan nuraninya mengakomodasi kepentingan kekuasaan dalam kekuatan privilese kekuasaan.

(*)

Ikuti berita pinare.onlinelain di
GOOGLE NEWS

Sosialberitafuture

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *