Mencari Kehangatan di Dapur Nenek Saat Musim Dingin
Waktu kecil Saya dibiasakan untuk bangun pagi, apalagi bila menginap di rumah kakek. Rumah kakek sudah semi permanen, namun mereka memiliki tungku (hawu) yang biasa digunakan untuk memasak dan juga siduru (duduk di depan tungku) sambil menikmati air teh hangat, memanggang ulen atau kerupuk opak. Kegiatan siduru ini membuat badan menjadi hangat dan malas beranjak dari depan hawu tersebut.
Sambil siduru di depan hawu, sebagai cucu Saya berharap nenek akan menawarkan makan pagi dan Saya akan makan di sekitar tungku bersama nenek atau anggota keluarga lain seperti paman atau bibi. Makanan buatan nenek punya rasa yang berbeda dibandingkan dengan makanan yang dibuat oleh Ibu sendiri walaupun jenis makanannya sama.
Tungku di dapur nenek menjadi pusat kegiatan di pagi hari setelah shalat subuh dan mengaji (anak-anak). Sebagai seorang petani, kakek dan nenek sarapan dan memasak nasi lebih pagi dibandingkan dengan ayah dan ibu yang bekerja sebagai penjahit dan pedagang. Jadi wajar saja Saya lebih senang menyambangi dapur nenek setelah pulang mengaji agar dapat ditawari makan pagi.
Sambil menghangatkan diri di depan hawu, Saya menyaksikan bagaimana nenek memasak nasi di kukus atas dandang (seeng). Setelah masak lalu nenek ngakeul (membolak-balik nasi dengan centong) di atas dulang (wadah dari kayu). Keterampilan nenek yang mengolah nasi ini menjadi atraksi yang menarik waktu kecil.
Kegiatan di depan tungku ini memakan waktu yang cukup lama, sambil memasukan kayu bakar atau bambu ke dalam tungku Kita bisa memanggang makanan seperti opak (kerupuk dari singkong) atau bahan makanan lain yang masih mentah. Selain dipanggang di depan api atau bara api, adakalanya makanan mentah ini dimasukan ke dalam bara api atau di atas tungkunya sendiri. Misalnya memasak ikan peda atau ikan lainnya.
Masakan nenek memang beda dan ketika nenek telah tiada, anak cucunya merindukan nikmatnya masakan nenek. Ketika anak cucunya datang ke rumah nenek, tiada lagi yang ditunggu-tunggu yaitu masakan nenek, sehingga rasanya sunyi senyap dan enggan datang ke rumah tersebut.
Dapur nenek dilengkapi dengan tempat menyimpan padi, tempat menyimpan kayu bakar dan perangkat masak yang semuanya tampak berwarna hitam. Dengan adanya tungku di dapur tersebut membuat ruangan dapur ditutupi jelaga dan berwarna hitam. Kelihatannya memang tidak indah, tapi memberikan suasana hangat dan dirindukan, terutama di musim bediding. Apalagi daerah kami termasuk daerah yang relatif lebih dingin dibandingkan daerah lain.
Di atas tungku menggantung jagung yang akan dijadikan benih atau juga benih-benih lainnya. Yang menarik adalah ada kebiasaan nenek/kakek menggantungkan lemak domba (mungkin habis lebaran idul adha) di atas tungku. Bila menggoreng nasi, maka ditambahkanlah lemak ini sehingga nasi goreng beraroma nikmat. Dan itulah yang ditunggu-tunggu sambil menghangatkan diri di depan tungku.
Kegiatan kakek nenek ini selalu terkenang sampai tua, bahkan dengan adanya chanel youtube Petualangan Alam Desaku selalu mengingatkan Saya tentang kenangan masa kecil. Diantaranya kegiatan masyarakat memasak menggunakan tungku, rumah-rumah panggung dan kegiatan masyarakat yang sudah jarang dilakukan masyarakat di masa sekarang.
Ketika nenek sudah menawarkan makan, dan Saya ikut di dalamnya barulah Saya pulang ke rumah orang tua. Dan kadang saya kembali makan makanan yang disediakan Ibu. Maka tak ayal badan Saya waktu SD kegemukan dan terlalu banyak mengkonsumsi karbohidrat.
Itulah kegiatan Saya ketika pagi di musim bediding waktu kecil yang mungkin anak-anak sekarang belum pernah mengalaminya. Entahlah bila di tempat lain.
BudayaBudaya Makananfuture
