Kisah Menyedihkan Anak Berkebutuhan Khusus di Tangsel Jadi Korban Pelecehan Seksual Guru Agama

pinare.online
Nasib malam menimpa seorang remaja perempuan berinisial HP (17) asal Kota Tangerang Selatan, Banten.
HP diduga menjadi korban kekerasan seksual oleh seorang guru agama berinisial FR (51) di sekolah khusus di kawasan Ciputat, Kota Tangsel.
Mirisnya, aksi bejat FR dilakukan di ruang kelas saat korban sedang melakukan proses belajar mengajar.
Seperti diketahui, HP merupakan siswi di sekolahan khusus yang diagnosis Autism Spectrum Disorder (ASD).
Sedangkan pelaku FR merupakan tenaga pengajar mata pelajaran agama Kristen di sekolah tersebut.
Sudan Ditetapkan Tersangka
Guru agama berinisial FR (51) telah ditetapkan sebagai tersangka kasus kekerasan seksual terhadap muridnya yang masih di bawah umur.
Penetapan tersangka diumumkan setelah penyidik Polres Tangerang Selatan melakukan pemeriksaan mendalam berdasarkan laporan polisi nomor LP/B/583/IV/2025/SPKT/POLDA METRO JAYA/POLRES TANGERANG SELATAN tertanggal 18 Maret 2025.
Ia diduga melakukan kekerasan seksual terhadap korban seorang siswi berkebutuhan khusus, saat proses belajar mengajar berlangsung antara bulan Oktober 2024 hingga Februari 2025.
“Berdasarkan hasil pemeriksaan saksi-saksi, korban, psikolog, dan alat bukti lainnya termasuk pakaian korban, penyidik menetapkan F.R. sebagai tersangka,” kata Kapolres Tangerang Selatan, AKBP Victor Inkiriwang saat dikonfirmasi, dikutip Minggu (6/7/2025).
Victor menjelaskan kejadian bermula saat guru lain yang mengajar di kelas korban meninggalkan ruangan.
Pelaku kemudian mendekati korban dan memberi makanan ringan sebelum akhirnya memanggil korban ke depan kelas.
Di momen itulah, tersangka diduga melakukan tindakan kekerasan seksual.
"Saat korban dan teman-temannya sedang mengerjakan soal yang di berikan oleh tersangka, kemudian tersangka memanggil korban ke depan dan saat itu korban pun menghampiri ke tempat tersangka duduk, setelah itu tersangka melakukan kekerasan seksual kepada korban," kata Victor.
Lanjut, Victor mengatakan, bahwa korban berusaha melawan namun tidak mampu melepaskan diri dari pelaku.
Setelah melakukan perbuatannya, pelaku bahkan sempat memperingatkan korban agar tidak memberi tahu ibunya.
"Setelah melakukan kekerasan seksual terhadap korban kemudian tersangka mengatakan ‘kamu jangan bilang mamakmu ya’ dan korban hanya diam kemudian kembali ketempat duduk dan tidak lama kemudian saksi T datang dan masuk kedalam kelas," tutup Victor.
Atas perbuatannya, pelaku dijerat dengan Pasal 82 UU RI No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak dan/atau Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun.
Sebelumnya diberitakan, keluarga korban pelecehan seksual terhadap anak berkebutuhan khusus (ABK) menceritakan bagaimana mereka mengungkap peristiwa yang dialami oleh anak mereka.
Ibu korban berinisial (SL) menggali pengakuan anaknya berinisial HP (17), melalui bahasa sehari-hari yang biasa mereka gunakan di rumah.
Sang ibu menggunakan kata "Pocah-Pocah" istilah yang digunakan keluarganya yang berarti memegang atau meremas area intim.
“Apakah kamu dipocah-pocah oleh X (nama oknum guru)?," ujar juru bicara keluarga korban, Muhammad Cahyadi menirukan cara bicara ibu korban, saat dikonfirmasi TribunTangerang.com, Senin (2/6/2025).
Sang anak kemudian membenarkan pertanyaan itu.
“Iya," jawab korban yang ditiru Cahyadi.
Ia menjelaskan, sang ibu sudah mulai curiga terhadap korban sejak Oktober-November 2024. Sebab ada prilaku aneh yang dilakukan anaknya.
Sang ibu mendapati perubahan perilaku anak yang mengarah pada dugaan tindakan kekerasan seksual.
"Mulai terlihat perilaku negatif baru dari korban. Ibu korban mencurigai adanya perubahan karena korban mulai menunjukkan perilaku seperti memegang dan meremas bagian vital milik ibu. Ini adalah perilaku yang sebelumnya belum pernah muncul,” kata Cahyadi.
Karena keterbatasan komunikasi anak, ibu korban menggunakan pendekatan bahasa internal keluarga untuk memudahkan anak bercerita.
Dari pengakuan anak, nama seorang guru laki-laki disebutkan secara eksplisit dan korban berulang kali menyebut guru tersebut “jahat”.
Temuan ini semakin menguatkan kecurigaan sang ibu terhadap kemungkinan kekerasan seksual yang dialami anaknya di lingkungan sekolah.
Setelah mendengar pengakuan tersebut, orangtua korban segera menghubungi wali kelas dan menyampaikan dugaan tersebut ke pihak sekolah.
Namun menurut Cahyadi, sekolah baru memberikan respons setelah satu minggu laporan disampaikan.
“Tindak lanjut dari sekolah, sekitar seminggu kemudian baru merespons. Namun respons tersebut tidak berupa pertemuan formal, hanya pemanggilan biasa yang belum menyelesaikan permasalahan secara tuntas,” kata dia.
Adapun keluarga korban telah melaporkan ke UPTD PPA Tangerang Selatan dan diarahkan untuk melapor ke Polres Tangerang Selatan.
Mereka pun akhirnya membuat laporan pada 18 Maret 2025 sekaligus direkomendasikan untuk melakukan visum di RSUD Serpong.
Laporan itu teregistrasi dengan nomor TBL/B/583/11/2025/SPKT/POLRES TANGERANG SELATAN POLDA METRO JAYA pada Selasa, 18 Maret 2025.
Sumber :
Tribuntangerang.com
Sosialberitafuture
