Connect with us

News

Kasus Kerusakan Tempat Retret Sukabumi: 8 Tersangka, Natalius Marah pada Staf Khusus

Kasus Kerusakan Tempat Retret Sukabumi: 8 Tersangka, Natalius Marah pada Staf Khusus


pinare.online

– Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai dengan tegas menyampaikan, tidak akan mau kompromi terhadap para pelaku perusakan vila tempat retret pelajar Kristen di Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Jumat (27/6/2025) lalu.

Karenanya Pigai tak akan memberikan penangguhan penahanan pada para tersangka dalam kasus perusakan vila itu.

Pigai mengatakan dia tak akan menindaklanjuti usulan Staf Khusus Menteri HAM, Thomas Harming Suwarta, yang dinilai malah mencederai keadilan.

"Sebagai Menteri HAM RI saya tidak akan menindaklanjuti usulan spontanitas Thomas S Swarta, Staf Khsusus Menteri HAM. Karena itu mencederai perasaan ketidakadilan bagi pihak korban," kata Pigai dalam akun X pribadinya @NataliusPigai2 seperti dikutip, Minggu (6/7/2025).

"Tindakan yang bertentangan dengan hukum adalah perbuatan dari individu atau personal bertentangan dengan Pancasila," sambungnya.

Saat ini, kata Pigai, Kementerian HAM sendiri belum mengeluarkan sikap apapun terkait kasus tersebut apalagi sampai ingin memberikan penangguhan penahanan tersebut.

"Sampai saat ini kami belum mengeluarkan surat atau sikap resmi dari kementerian, karena sedang menunggu laporan dari Kanwil Jawa Barat. Demikian untuk menjadi perhatian," jelasnya.

Sebelumnya, Staf Khusus Menteri HAM, Thomas Harming Suwarta, menyampaikan bahwa KemenHAM akan mengajukan permohonan penangguhan penahanan secara resmi kepada pihak kepolisian.

Hal ini disampaikan Thomas pada acara penguatan bersama seluruh unsur Forkopimda Kabupaten Sukabumi dan tokoh Lintas Agama di Pendopo Sukabumi, Kamis (3/7/2025).

"Dari Kementerian Hak Asasi Manusia memang mendorong untuk dilakukan penangguhan penahanan kepada tersangka," katanya.

"Seperti kata Pak Kapolres tadi, ada upaya penegakan hukum dilakukan secara profesional, proporsional dan tentu berkeadilan," imbuh Thomas.

———


Stafsus menteri HAM membantah isu pembelaan penahanan tersangka kasus perusakan rumah retret dengan menyebut usulan tersebut sebagai inisiatif pribadi dan bukan sikap resmi kementerian.


Stafsus, Thomas Harming Suwarta, mengklaim bahwa usulannya hanya masukan setelah ia dan tim melihat dinamika di lapangan, dan belum ada langkah resmi dari kementerian terkait.


Menteri HAM, Natalius Pigai, menegaskan bahwa usulan tersebut tidak akan ditindaklanjuti karena mencederai perasaan korban.


Berikut poin-poin pentingnya:


Usulan Stafsus:


Stafsus Menteri HAM, Thomas Harming Suwarta, mengusulkan penangguhan penahanan tersangka kasus perusakan rumah retret di Cidahu.


Inisiatif Pribadi:


Stafsus menegaskan bahwa usulan tersebut adalah inisiatif pribadi dan bukan sikap resmi kementerian.


Tolak Usulan:


Menteri HAM, Natalius Pigai, menolak usulan tersebut karena dianggap tidak adil bagi korban dan mencederai perasaan mereka.


Tidak Ada Sikap Resmi:


Kementerian HAM belum mengeluarkan sikap resmi terkait kasus tersebut, masih menunggu laporan dari Kanwil Jabar.


Kasus Perusakan:


Kasus yang dimaksud adalah perusakan rumah retret remaja Kristen di Cidahu, Sukabumi, yang melibatkan beberapa tersangka.


Perlu dicatat bahwa pernyataan stafsus dan menteri ini disampaikan melalui media, baik media online maupun media sosial pribadi.

——-


Kecaman Keras Formas

Sedangkan Forum Masyarakat Indonesia Emas (Formas) mengecam tindakan pembubaran paksa kegiatan kerohanian retret tersebut.

Formas menyebut perbuatan warga yang merusak rumah tempat retret dan pelarangan terhadap siswa yang melakukan retret merupakan tindakan yang melawan konstitusi, mengancam toleransi, perdamaian dan dapat mengganggu keutuhan kehidupan sosial.

"Padahal, semua warga negara dijamin Konstitusi untuk menjalankan aktivitas sesuai dengan keyakinan dan agama yang dianut oleh setiap warga bangsa," kata Ketua Umum FORMAS, Yohanes Handojo Budhisedjati, Jumat (4/7/2025).

"Apa yang dilakukan dalam kegiatan retret tersebut tentu sejalan dengan ajaran nilai-nilai semua agama, yakni cinta kasih, saling menghormati, menghargai perbedaan dan menjunjung tinggi persaudaraan," lanjutnya.

Handojo menyebut tindakan seperti ini sudah sering terjadi. Dampaknya mengancam keutuhan bangsa. Oleh karena itu, ia meminta pihak berwajib untuk mengusut tuntas peristiwa tersebut sehingga ke depan tidak ada lagi peristiwa serupa.

"Kami menilai, mungkin ada soal terkait perizinan atau aturan. Tapi, untuk menyelesaikannya tidak bisa dilakukan dengan cara spontanitas, itu bisa dinilai sebagai kekerasan," ucapnya.

"Tindakan seperti itu, selain melanggar konstitusi, juga melanggar Hak Asasi Manusia," imbuhnya.

Handojo menjelaskan, Indonesia adalah negara heterogen yang dikenal luas sebagai salah satu negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, toleransi, perdamaian dan kerukunan yang dilandasi oleh Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.

Ia berharap peristiwa ini menjadi pelajaran bagi semua pihak.

Handojo juga berharap agar tidak perlu beraksi berlebihan dan biarkan pihak berwajib untuk menyelesaikannya.

"Kami mendorong untuk prioritaskan dialog, untuk menyelesaikan persoalan," pungkasnya.

Sebelumnya, sekelompok pelajar Kristen yang sedang mengikuti kegiatan retret keagamaan di sebuah vila di Kampung Tangkil, Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat, didatangi massa dan melakukan pembubaran. Massa juga melakukan perusakan sejumlah fasilitas vila.


Sikap DPR RI

Anggota Komisi III DPR RI Sarifudin Sudding menyatakan, negara tidak boleh kalah dari tekanan kelompok mana pun dalam menjamin hak konstitusional warganya untuk beribadah.

Hal ini disampaikan Suddin merespons kasus pembubaran retret pelajar di Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, yang terjadi pada Jumat (27/6/2025).

“Ini bukan semata soal disharmoni sosial, ini menyangkut soal kepastian hukum dan keberanian negara dalam melindungi hak asasi rakyatnya,” kata Sudding, kemarin.

“Perlu kembali ditegaskan bagi semua pihak, beribadah adalah hak konstitusional setiap warga negara,” kata dia melanjutkan.


Sudah 8 Orang Ditetapkan Tersangka dan Ditahan

Kabid Humas Polda Jawa Barat Kombes Hendra Rochmawan menyampaikan ada penambahan satu tersangka kasus perusakan rumah tempat retret remaja Kristen di Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat.

"Penambahan tersangka ada satu lagi yang telah ditetapkan, yaitu saudara YY dengan usia 50 tahun," kata Hendra dalam keterangannya, Minggu (6/7/2025).

YY merupakan warga Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu. Sebelumnya, polisi telah menetapkan 7 orang tersangka. Mereka semua sudah ditahan.

"Sama seperti tujuh tersangka lainnya, YY juga dikenakan Pasal 170 KUHP dan atau Pasal 406 KUHP," ujarnya.

Menurut Hendra, tersangka YY merusak gitar di rumah tersebut dan mobil Suzuki Ertiga yang berada di halaman parkir.

Adapun peran 7 tersangka sebelumnya, yaitu RN (merusak pagar dan mengangkat salib), UE (merusak pagar), EM (merusak pagar), MD (merusak motor), MSM (menurunkan dan merusak salib besar), H (merusak pagar serta merusak motor), dan EM (merusak pagar).

Mereka bersama warga lain menggeruduk vila yang di dalamnya tengah menggelar kegiatan retret yang diikuti 36 remaja.

Warga setempat keberatan atas kegiatan keagamaan di rumah tersebut pada Jumat (27/6/2025) siang.

Massa mengusir puluhan remaja disertai kekerasan verbal.

Penggerudukan berujung aksi perusakan rumah tersebut viral di media sosial.

Video yang viral menunjukkan salib kayu diturunkan warga.

Kemudian simbol Kristen itu digunakan untuk merusak kaca-kaca rumah sebelum kemudian dihancurkan.


Gubernur Dedi Mulyadi Tolak Bantu Penangguhan Penahanan Para Tersangka

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi meninjau lokasi penggerudukan massa sehari kemudian.

Ia merogoh kantong pribadi Rp 100 juta untuk perbaikan rumah dan meminta tidak perlu membebankan biaya perbaikan kepada warga.

Namun, pemilik rumah Maria Veronica Ninna (70) mengatakan uang tersebut akan diserahkan kepada warga setempat untuk perbaikan masjid dan mushalla di desa tersebut.

Gubernur Dedi Mulyadi juga menolak membantu penangguhan penahanan para tersangka.

Para istri tersangka menyambangi Dedi Mulyadi meminta tolong agar para suami mereka ditangguhkan penahannya usai merusak sebuah rumah di Cidahu yang tengah melangsungkan acara keagamaan.

Momen pertemuan Dedi Mulyadi dengan para keluarga tersangka itu diunggah di akun instagramnya pada Minggu (6/7/2025).

Sambil menangis, istri tersangka memohon agar Dedi Mulyadi membantu penangguhan penahanan suaminya. Sebab tersangka merupakan tulang punggung keluarga.

Dedi Mulyadi pun mengatakan bahwa dirinya sebagai Gubernur tidak bisa ikut campur terkait dengan proses pidana.

Adapun Dedi Mulyadi mengaku hanya bisa bertanggung jawab secara sosial kepada para istri yang suaminya kini dibui karena tindakan anarkis.

Sementara kata Dedi Mulyadi, para tersangka tetap harus menjalani hukuman sebagai dengan konsekuensi perbuatannya.

“Kan Gubernur tidak bisa intervensi secara hukum,” ucap Dedi Mulyadi.

“Saya hanya bisa bantu dari sisi sosial, misalnya meringankan beban Ibu karena tulang punggungnya sekarang ditahan,” ucap Dedi.


Hotman Paris Apresiasi Sikap Dedi Mulyadi

Sementara, pengacara kondang Hotman Paris turut menyampaikan apresiasinya kepada Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi atas kepeduliannya terhadap pemilik vila retreat di Sukabumi, yang dirusak oleh massa.

Hotman menyatakan, donasi Rp100 juta yang diberikan Dedi adalah contoh empati nyata terhadap korban.

Ia menyebut Gubernur sebagai "sahabat" yang layak diteladani karena cepat tanggap membantu warga yang terpuruk.

Namun di sisi lain, Hotman melontarkan kritik pedas terhadap Menteri Hukum dan HAM.

Menurutnya, keputusan untuk menangguhkan penahanan terhadap tujuh tersangka perusakan vila tersebut menunjukkan kurangnya ketegasan penegakan hukum.

Hotman mempertanyakan integritas sikap pemerintah yang dinilainya memberikan sinyal permisif terhadap tindakan kekerasan massal.

Dalam tanggapannya, seperti yang dilansir dalam laman instagram Kompas TV, Hotman menegaskan bahwa penangguhan penahanan bisa menimbulkan kesan bahwa negara tidak tegas terhadap pelaku kerusuhan.

Padahal ia menilai perkara semacam ini memerlukan preseden hukum yang tegas agar tidak terjadi berulang.

Kritiknya ditujukan agar proses hukum dijalankan secara transparan dan adil.


Anak-anak mengalami trauma

Trauma juga masih melekat pada anak-anak dan remaja para peserta retret yang berasal dari gereja di Tangerang Selatan.

Kendati demikian, pihak gereja memilih untuk menghormati proses hukum yang tengah berjalan sehingga menolak menuturkan lebih lanjut.

Namun merujuk dari informasi yang dihimpun Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI), anak-anak dan remaja ini datang ke vila untuk mengikuti retret saat libur sekolah.

Kegiatan yang dilakukan berupa program reflektif. Beberapa kegiatan juga dikemas melalui permainan.

Akan tetapi, sejumlah warga kemudian datang dan membubarkan paksa acara tersebut dengan alasan rumah singgah atau vila itu tidak memiliki izin sebagai tempat ibadah. Pembubaran disertai pengrusakan dan intimidasi.

"Ada pengambilan paksa simbol keagamaan, salib, saat itu. Ini melukai batin umat kristiani dan merusak nilai toleransi yang jadi pondasi bangsa," ucap Sekretaris Umum DPP Gamki, Alan Christian Singkali.


Keprihatinan Komnas HAM

Sementara, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) Anis Hidayah menyatakan penyerangan terhadap warga yang melakukan ibadah atau kegiatan keagamaan ini melanggar penghormatan terhadap hak dasar berupa hak bebas menjalankan agama dan keyakinannya.

Sementara itu, catatan Setara Institute sepanjang 2014-2024 terjadi 1.998 peristiwa dan 3.217 tindakan pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan.

Pada 2024 saja, tiga tindakan pelanggaran yang kerap terjadi adalah intoleransi oleh masyarakat sebanyak 73 kejadian, tindakan diskriminatif oleh negara sebanyak 50 peristiwa, dan gangguan tempat ibadah tercatat 42 kasus.

Anis Hidayah pung sangat menyesalkan terjadinya penyerangan terhadap warga yang melakukan kegiatan retret tersebut.

"Ini sebenarnya sudah mencederai hak kebebasan beragama dan berkeyakinan yang merupakan hak dasa yang tidak hanya diatur dalam Undang-undang Hak Asasi Manusia tapi juga di dalam konstitusi dan konvensi internasional tentang hak sipil politik," tutur Anis.

Anis juga mendorong masyarakat untuk tidak mudah terpancing melakukan cara-cara kekerasan. Jalan damai melalui dialog, lanjut dia, merupakan upaya yang semestinya dilakukan dalam melihat perbedaan keyakinan dan cara beribadah yang berbeda-beda di Indonesia.

Komnas HAM sudah menerbitkan Standar Norma dan Pengaturan HAM tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dalam aturan itu, jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan ini semestinya diterapkan oleh tiap masyarakat, jajaran pemerintah, dan aparat penegak hukum.

"Kami mendorong agar Standar Norma dan Pengaturan itu dapat digunakan oleh semua pihak yaitu aparat penegak hukum, pemerintah, dan masyarakat dalam membangun toleransi dan bmembangun kehidupan dengan perbedaan agama dan keyakinan yang memang selama ini ada di Indonesia. Moderasi beragama itu sangat penting," tutur Anis.

Mengenai izin untuk kegiatan keagamaan dan beribadah, Anis berpendapat hal itu tidak boleh menjadi alasan bagi siapapun untuk menyerang agama tertentu ketika mereka menjalankan ibadah.

Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama Kementerian Agama, Adib Abdusshomad, juga menyesalkan peristiwa ini.

Adib menyampaikan ada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat yang bisa dijadikan pedoman dalam menjaga kerukunan umat beragama.

Di sisi lain, Adib mengungkapkan saat ini Peraturan Presiden tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama masih menanti ditandatangani oleh Presiden Prabowo.

Harapannya Perpres, lanjut dia, yang lebih tinggi kekuatan hukumnya dibandingkan Peraturan Bersama Menteri dapat berdampak mengingat saat ini kebijakan pemerintah daerah terkait kerukunan umat beragama berpijak pada Peraturan Bersama Menteri ini.

Terkait dengan perizinan pendirian rumah ibadah, Peraturan Menteri Bersama juga menjadi pijakan dan mengatur persyaratan khusus yang meliputi:

Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa.

Akan tetapi, sejumlah persyaratan khusus terutama terkait dukungan masyarakat ini dinilai diskriminatif, sebut Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan. Banyak rumah ibadah dari semua agama gagal keluar izinnya karena persoalan dukungan ini.

Berdasarkan hasil riset yang dilakukan Kementerian Agama pada 2024, angka Indeks Kerukunan Antar Umat Beragama (IKUB) sebesar 76,47. Skor ini merupakan rerata dari tiga variabel yaitu toleransi, kesetaraan, dan kerja sama yang diambil dari 34 provinsi di Indonesia.

Dari hasil riset ini, skor Jawa Barat berada di bawah rata-rata yaitu 73,43.

Selain Jawa Barat, ada Jambi, Maluku Utara, Gorontalo, Banten, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Barat, Bangka Belitung, Bengkulu, dan Aceh.

Catatan lain berasal dari Setara Institute sepanjang 2014-2024 terjadi 1.998 peristiwa dan 3.217 tindakan pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan.

Tiga kondisi pelanggaran yang kerap terjadi sepanjang 2024 adalah intoleransi oleh masyarakat sebanyak 73 kejadian, tindakan diskriminatif oleh negara sebanyak 50 peristiwa, dan gangguan tempat ibadah tercatat 42 kasus.


Penjelasan Kepala Desa

Sementara, Kepala Desa Tangkil, Ijang Sehabudin, menjelaskan tindakan warga ini bermula dari video dan informasi yang beredar di tengah warga pada Jumat (27/6/2025) pagi.

Narasi dalam video itu menyebutkan kaum muda yang menginap di rumah singgah milik Maria Veronica Ninna melakukan kegiatan keagamaan ibadah umat Kristen Protestan yaitu bernyanyi.

Setelah menerima informasi mengenai video itu, Ijang bersama dengan Forum Komunikasi Pimpinan Kecamatan (Forkopimcam) Cidahu mendatangi rumah tersebut.

"Kami iktikad baik menanyakan izin karena rumah itu rumah vila dipakai kegiatan. Minta ada izin lah. Si pihak vila tidak mengindahkan atas datangnya kami, Babinsa, Pak Kapolsek, Pak Camat, kurang diindahkan sehingga kami berinisiasi akan membuat surat imbauan," jelas Ijang kepada wartawan BBC News Indonesia.

"Cuma waktu itu, kami mepet keburu Jumatan. Akhirnya kami Jumatan, pulang. Baru mau dibuatkan surat imbauan, terjadi lah masyarakat spontanitas mendatangi," imbuh Ijang.

Peristiwa perusakan terjadi pada Jumat (27/6/2025), diperkirakan sekitar pukul 13.15 WIB.

Satu jam berselang, pihak Forkopimcam datang ke lokasi untuk menenangkan warga dan memberikan penjelasan.

Selanjutnya, garis polisi dipasang. Jelang sore hari, sekitar pukul 15.30 WIB, warga kembali ke rumah masing-masing.

Pascakejadian, rumah milik Maria Veronica Ninna yang ditinggali oleh kerabatnya bernama Yongki beserta istri dan anak-anaknya dikosongkan sementara dan dijaga oleh polisi.

Menurut Ijang, warga mempertanyakan peruntukan rumah Ninna sejak April 2025 karena disebut mulai ada ibadah kebaktian umat Kristen tanpa izin.

Ketika dikonfirmasi pada Ijang mengenai apakah diperlukan juga izin kegiatan keagamaan dan ibadah apabila penyelenggaranya dari penganut agama mayoritas di wilayah tersebut, Ijang tak menjawabnya.


(*/pinare.online)



Baca berita
TRIBUN MEDAN
lainnya di
Google News



Ikuti juga informasi lainnya di
Facebook
,
Instagram
dan
Twitter
dan
WA Channel



Berita viral lainnya di
Tribun Medan

Sosialberitafuture

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *