Gelombang PHK Berlanjut, Ratusan Karyawan PT Sanken Berpamitan Usai Pabrik Tutup
pinare.online, BEKASI
—- Video haru ratusan karyawan PT Sanken saling berpamitan usah pabriknya resmi tutup viral di media sosial.
Dalam video itu nampak, ratusan karyawan bersaragam perusahaan berbaris dan saling bersalaman satu sama lain.
Mereka berpamitan setelah sekitar 20 tahun pabrik berdiri dan harus menghentikan operasionalnnya.
Terkait hal itu, Sekretaris Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Bekasi, Nur Hidayah Setyowati, mengungkapkan bahwa PT Sanken telah menyampaikan rencana penutupan kepada Disnaker sejak awal tahun.
Perusahaan akan menghentikan seluruh kegiatan produksinya pada Juni 2025.
“Segala upaya sudah dilakukan oleh PT Sanken. Salah satunya, mereka berusaha mencari investor untuk menjual perusahaan, tetapi tidak berhasil. Maka diambil keputusan untuk menutup operasional,” ujar Nur Hidayah saat diwawancara pada Minggu (6/7/2025).
Ia juga menegaskan bahwa keputusan penutupan pabrik tidak berkaitan dengan kenaikan Upah Minimum Kabupaten (UMK) Bekasi tahun ini. Akan tetapi kondisi global dan pertimbangan lainnya.
“Kami tegaskan penutupan tidak ada kaitannya dengan kenaikan UMK yang naik 6,5 persen. Bahkan, perusahaan-perusahaan ini memberikan upah yang cukup baik dan memberikan kompensasi PHK yang lebih dari ketentuan normatif,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Hubungan Industrial Disnaker Kabupaten Bekasi, Fuad Hasan, menambahkan bahwa sebagian besar PHK terjadi di sektor manufaktur, terutama industri elektronik dan otomotif yang mendominasi kawasan industri MM2100.
“Sektor yang paling terdampak adalah manufaktur, khususnya perusahaan yang mengalami efisiensi, relokasi, atau bahkan penutupan pabrik,” ujar Fuad.
PT Sanken Indonesia menjadi salah satu perusahaan dengan jumlah PHK terbesar. Sebanyak 451 pekerja diputus hubungan kerjanya, terdiri dari 447 pekerja tetap (PKWTT) dan 4 pekerja kontrak (PKWT).
Surat PHK dikeluarkan pada 8 April 2025, dengan pemberlakuan efektif mulai 1 Juli 2025.
Meski demikian, proses PHK berlangsung secara musyawarah. Sebagai bentuk tanggung jawab, perusahaan menyelenggarakan berbagai program pelatihan bagi pekerja terdampak, mulai dari wirausaha, digital marketing, pelatihan bahasa Jepang dasar, hingga pelatihan menjadi pengusaha bakso.
“Perusahaan juga membuat database pekerja sesuai keahlian dan merekomendasikannya kepada vendor, pelanggan, atau perusahaan sejenis,” ujarnya.
Lonjakan PHK di Tengah Janji 19 Juta Lapker
Lonjakan jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) dan membanjirnya angkatan kerja baru menjadi sinyal peringatan serius bagi pemerintah di tengah janji menciptakan 19 juta lapangan kerja.
Kenyataan di lapangan justru menunjukkan fakta yang jauh dari harapan.
Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, Abdul Kadir Karding mengakui bahwa situasi ketenagakerjaan nasional saat ini penuh tantangan.
Salah satu solusi yang ditawarkan pemerintah adalah mendorong tenaga kerja Indonesia (TKI) untuk bekerja ke luar negeri.
"Akibat tingginya angka pengangguran, kami terus membuka akses bagi pekerja migran Indonesia," ujar Abdul Kadir.
Namun, langkah ini menuai kritik dari banyak pihak. Wakil Ketua Umum DPP KSPSI sekaligus Ketua Umum Pimpinan Pusat PPMI KSPSI serta anggota Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional, Arnod Sihite menilai pemerintah seharusnya lebih fokus menjaga keberlangsungan industri dalam negeri dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Saya tidak habis pikir kenapa situasi ini bisa terjadi .Disatu sisi, pemerintah menjanjikan 19 juta lapangan kerja, tapi di sisi lain mendorong rakyat bekerja ke luar negeri akibat ketidakmampuan menyerap tenaga kerja di dalam negeri
Ia menyoroti banyaknya sektor padat karya dan manufaktur yang justru melakukan PHK besar-besaran.
Menurut data PHK yang diterima oleh Apindo pada bulan maret 2025 ada 73.992 kasus.
Selain itu, sejumlah perusahaan lainnya juga mengalami nasib serupa, yang baru- baru ini perusahaan Sritex 10.000 orang kena PHK begitu juga beberapa industri komponen otomotif dan garmen di Jawa Barat ,Jawa Tengah, Jakarta, Riau dan daerah lain akibat berbagai tekanan eksternal.
"Situasi global memang tidak stabil. Ada perang antara Iran dan Israel, kebijakan proteksionis Amerika Serikat yang menaikkan tarif masuk produk tertentu, semuanya berdampak ke Indonesia. Tapi seharusnya pemerintah punya strategi menjaga agar industri kita tetap tumbuh dan tenaga kerja tetap terlindungi," ujar Arnod.
Ia menambahkan, Indonesia saat ini menghadapi tantangan ganda. Gelombang PHK dan membeludaknya lulusan baru dari sekolah kejuruan dan perguruan tinggi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah pengangguran per Februari 2025 mencapai 7,28 juta jiwa.
Kondisi ini diperparah oleh stagnasi pertumbuhan ekonomi nasional yang masih berada di angka 4,7 persen, jauh dari target ideal 5–6 persen untuk mendorong penciptaan lapangan kerja dan pengurangan kemiskinan.
Menurut laporan Macro Poverty Outlook 2025 dari Bank Dunia, angka kemiskinan di Indonesia mengalami peningkatan signifikan, dengan jumlah penduduk miskin mencapai 60,3 persen.
"Ini jadi alarm perhatian serius dari semua pihak dan pemerintah. Kalau tidak segera dicari solusinya, daftar kemiskinan kita akan makin panjang," sebut Arnod.
Dalam upaya mengurangi tekanan ini, salah satu langkah positif yang telah dilakukan pemerintah adalah penyelenggaraan job fair untuk mempertemukan pencari kerja dan perusahaan.
Namun, Arnod menilai langkah ini belum cukup. Pemerintah perlu menciptakan terobosan konkret, bagaimana memitigasi gelombang PHK, membuka peluang investasi baru, dan memastikan tenaga kerja terserap kembali sesuai bidangnya masing-masing.
Arnod juga menyarankan agar pemerintah lebih aktif mendorong ekspor ke negara-negara yang tidak terdampak konflik atau kebijakan proteksionis, sehingga industri dalam negeri bisa kembali mendapatkan pesanan dan meningkatkan produktivitas.
Ia juga mendorong Danantara mendanai sektor padat karya serta pembangunan infrastruktur yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
Menurutnya, program semacam ini harus diperluas sebagai solusi jangka menengah untuk membuka lapangan kerja domestik.
"Daripada mendorong tenaga kerja kita bekerja ke luar negeri sebagai solusi jangka pendek, lebih baik pemerintah berfokus menciptakan ekosistem industri yang sehat, agar masyarakat Indonesia bisa bekerja dan mendapatkan penghidupan yang layak di negeri sendiri," ucapnya.
Arnod Sihite menyatakan bahwa Indonesia setiap tahunnya membutuhkan penciptaan antara 3 hingga 4 juta lapangan kerja baru.
Menurutnya, kondisi saat ini tidak cukup memadai, apalagi jika mempertimbangkan terjadinya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang turut menambah tekanan.
“Kita perlu memperkuat penciptaan lapangan kerja di dalam negeri, termasuk mengantisipasi potensi PHK ke depan," tambahnya.
Ia pun mengapresiasi rencana pemerintah membentuk Satuan Tugas (Satgas) PHK sebagai langkah awal untuk menanggulangi persoalan ini secara lebih terkoordinasi.
Pembentukan Satgas ini bisa menjadi titik tolak dalam menangani masalah PHK secara kolektif. Ini persoalan nasional yang harus mendapat perhatian serius dari semua pemangku kepentingan.
Lebih lanjut, Arnod menjelaskan bahwa Satgas PHK idealnya tidak hanya bersifat reaktif terhadap kasus PHK yang sudah terjadi, tetapi juga mampu menjalankan fungsi pencegahan dan perencanaan strategis dalam sektor ketenagakerjaan.
Satgas ini harus bisa menyusun peta persoalan ketenagakerjaan di Indonesia agar solusi yang diambil bisa tepat sasaran dan cepat diterapkan.
Ia juga menyampaikan apresiasi terhadap komitmen Presiden Prabowo Subianto yang menunjukkan perhatian besar terhadap isu perburuhan dan akar permasalahan ketenagakerjaan.
“Kita melihat adanya komitmen nyata dari Presiden untuk menyelesaikan masalah ketenagakerjaan dari hulunya, ini patut diapresiasi," tandas Arnod.
Baca
pinare.online
berita lainnya di
Google News
Dapatkan informasi lain dari pinare.onlinelewat WhatsApp
:
di sini
Ekonomiberitafuture
