News
Berbagai Pihak Minta Hentikan Penulisan Ulang Sejarah Indonesia, Siapa Saja?

pinare.online
– Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon dikritik karena berencana melakukan penulisan ulang sejarah yang ia gagas.
Kritikan itu muncul dari anggota Komisi X dari Fraksi PDI-P, Mercy Chriesty Barends juga meminta penulisan ulang sejarah dihentikan.
Mercy khawatir proyek tersebut akan semakin melukai korban yang masih mencari keadilan dan menimbulkan polemik baru di masyarakat jika terus dilanjutkan.
"Kami percaya ya Pak ya, daripada diteruskan dan berpolemik, mendingan dihentikan. Kalau Bapak mau teruskan, ada banyak yang terluka di sini," kata Mercy dalam rapat kerja dengan Menbud Fadli Zon yang disiarkan melalui akun YouTube Tv Parlemen, Rabu (2/7/2025) lalu.
Menurut Mercy, sejarah seharusnya tidak ditulis dengan cara memilih-milih peristiwa yang hendak diangkat.
Mengingat banyak sisi kelam sejarah yang tidak bisa diungkapkan seluruhnya, tetapi tetap menjadi bagian penting dari memori kolektif bangsa Indonesia.
"Kalau memilih-milih saja mana yang ditulis dan mana yang tidak ditulis, ada banyak kekelaman-kekelaman yang ada di bawah permukaan yang tidak bisa kami ungkapkan satu per satu," ucap Mercy.
Berbagai pihak tolak penulisan ulang sejarah Indonesia
Senada dengan Mercy, Anggota Komisi X DPR dari fraksi PKB, Habib Syarief Muhammad juga meminta agar penulisan sejarah ulang ditunda karena proyek tersebut terkesan tertutup dan waktu pengerjaannya terlalu singkat.
"Daripada kontroversial terus berkelanjutan, kami dari fraksi PKB mohon penulisan sejarah ini untuk ditunda. Ya, jelas untuk ditunda. Karena yang pertama terkesan sangat tertutup," ujar Habib.
Habib mengaku tidak mendapatkan data lengkap dan penjelasan rinci mengenai siapa saja yang terlibat dalam tim penulisan sejarah meski sudah berupaya mencarinya. Selain itu, sosialisasi penulisan sejarah ulang juga sampai saat ini belum terlaksana.
"Sampai hari ini, kita tidak mendengar (ada sosialisasi),” ujarnya.
Habib juga menyoroti target penyelesaian penulisan sejarah ulang yang hanya tujuh bulan yang terbilang sangat singkat untuk penyusunan sejarah yang utuh.
"Setelah saya ngobrol-ngobrol dengan beberapa orang, 7 bulan itu waktu yang sangat singkat, terlalu singkat untuk penulisan sebuah sejarah yang utuh, apalagi mungkin ada kata-kata resmi," jelas Habib.
Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil yang tergabung dalam Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) juga menolak penulisan ulang sejarah yang digagas pemerintah.
Alasannya, AKSI menilai proyek itu adalah sarana untuk merekayasa masa lalu dengan menggunakan tafsir tunggal dari pemerintah.
Bagi AKSI, pengalaman pahit bangsa Indonesia merupakan pengalaman penting yang tak boleh diselewengkan. Bukan hanya itu, ada juga sejumlah kejanggalan yang disampaikan Arkeolog Profesor Harry Truman Simanjuntak.
Beberapa di antaranya terkait target penyelesaian penulisan sejarah yang terlalu singkat hingga proses yang disusun tanpa melibatkan seminar atau diskusi mendalam dengan para sejarawan.
Respons Fadli Zon
Fadli Zon pun angkat bicara terkait kritikan yang dilontarkan terhadapnya terkait penulisan ulang sejarah Indonesia.
Menurut Fadli, penulisan ulang sejarah saat ini sangat diperlukan karena pada penulisan sejaran yang sudah saat ini belum memuat sejarah lanjutan dari era Presiden ketiga BJ Habibie.
"Terakhir sejarah kita itu ditulis tentang era Pak Habibie," kata Fadli Zon dalam rapat kerja Komisi X DPR yang disiarkan secara daring lewat Tv Parlemen, dikutip
Kompas.co
m, Kamis (3/7/2025).
Fadli mengatakan, saat ini belum ada tulisan mengenai sejarah Presiden keempat Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Presiden kelima Megawati Soekarnoputri.
Kemudian era Presiden keenam dan ketujuh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden kedelapan dan kesembilan Joko Widodo (Jokowi).
"Jadi (dahulu sejarah) ditulis oleh Direktorat Sejarah yang dulu, (direktorat itu) sempat hilang sekarang baru ada (lagi) di Kementerian Kebudayaan," ujarnya.
Fadli menjelaskan, nantinya Direktorat Sejarah akan menulis sejarah Indonesia yang sudah lama tidak terbarukan.
Padahal, menurut Fadli sejarah adalah bagian penting dari jati diri bangsa dan harus diketahui oleh generasi muda saat ini dengan era kecepatan sosial media.
"Menurut saya ini (sejarah) penting untuk kita angkat dan didiskusikan. Sangat terbuka untuk didiskusikan karena kalau tidak kita (Indonesia) akan kehilangan jati diri," ungkapnya.
Fadli melanjutkan, nantinya sejaran yang ditulis akan memuat semua hal yang telah terjadi di Indonesia dan beberapa temuan sejarah yang baru ditemukan.
Ia juga menegaskan, penulisan ulang sejarah Indonesia tidak akan fokus sepenuhnya pada peristiwa kerusuhan 1998 dan yang akan diceritakan hanya inti-inti atau snapshot penting dari peristiwa.
"Memang buku sejarah ini tidak membahas Mei 1998 itu hanya satu snapshot," jelas Fadli Zon.
Pihak Istana pun membela Fadli Zon atas munculnya kritikan yang ada soal penulisan ulang sejarah Indonesia.
Kepala Komunikasi Kepresidenan (Presidential Communication Office/PCO) Hasan Nasbi menegaskan ada puluhan sejarawan yang dilibatkan dalam proses penulisan ulang sejarah.
Hasan meyakini para sejarawan tersebut tidak akan menggadaikan integritas dan profesionalitasnya.
"Orang-orang ini tidak akan menggadaikan integritas akademik mereka, profesionalitas mereka untuk hal-hal yang tidak diperlukan," kata Hasan di tayangan YouTube Universitas Al Azhar Indonesia, Senin (30/6/2025).
Oleh karenanya, ia meminta publik menunggu hasil dari penulisan ulang sejarah tersebut. Dia menambahkan pihak yang mengkritik proyek penulisan ulang sejarah juga harus punya kompetensi untuk memberikan penilaian.
"Kita yang mengkritik ini juga harus tahu diri nih, kita punya kompetensi dan literatur profesionalitas dalam menilai sebuah tulisan sejarah apa tidak," kata dia.
Harus ditulis objektif
Sementara itu, Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat mengingatkan agar penulisan sejarah nasional dilakukan secara objektif dan jujur, bukan berdasarkan kepentingan kelompok atau kekuasaan tertentu.
Pernyataan ini disampaikan Arief saat menanggapi pertanyaan mengenai proyek penulisan buku sejarah yang saat ini tengah dilakukan pemerintah.
Sejumlah kelompok masyarakat sipil sebelumnya menilai proyek tersebut sarat muatan politik, mengarah pada desoekarnoisasi, dan minim memuat catatan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada masa lalu.
“Ada pameo, sejarah itu dituliskan oleh orang yang berkuasa. Supaya untuk penulisan sejarah yang akan dilakukan, jangan menggunakan pameo itu. Sejarah harus ditulis secara objektif, tidak ditulis oleh orang yang berkuasa,” kata Arief ditemui di Sekolah Partai PDI-P, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, usai menghadiri Seminar Nasional mengenai pendidikan gratis, Senin (30/6/2025).
Meski menyuarakan kehati-hatian, Arief menyatakan tidak menolak adanya proyek penulisan buku sejarah oleh pemerintah.
Namun ia menegaskan bahwa proses penulisan harus dilakukan secara adil dan berdasarkan fakta, bukan berdasarkan versi atau sudut pandang penguasa.
“Ya boleh diteruskan. Tapi penulisannya secara objektif dan jujur, tidak mengatakan bagaimana ada pameo sejarah dituliskan oleh orang yang berkuasa menurut versinya,” ujarnya.
Sosialberitafuture
