Connect with us

Ashadi Siregar: Dari Fiksi ke Fakta, Hingga Menolak Ayah

Sabtu malam (5/7/2025) gedung Lembaga Indonesia Perancis (LIP) di bilangan Sagan Nomor 3, Yogyakarta, terasa sesak. Auditorium yang idealnya berisi seratus orang, pada malam pentas dramatic reading nukilan dua novel karya Ashadi, Cintaku di Kampus Biru (1972) dan Menolak Ayah (2018) dengan tajuk "Kampus Biru Menolak Ayah" dipenuhi kurang lebih seratus tiga puluh penonton.

Tidak mengherankan karena malam itu merupakan momen istimewa, memperingati delapan puluh tahun usia Ashadi Siregar. Lelaki yang meraih penghargaan sebagai Pemenang Harapan Sayembara Penulisan Roman Dewan Kesenian Jakarta (tahun 1972) lewat  cerita Warisan Sang Jagoan,  telah menulis dua puluh lebih karya sastra, empat di antaranya diangkat ke layar lebar: Cintaku di Kampus Biru (1976), Kugapai Cintamu, Terminal Cinta (1977), dan Sirkuit Kemelut (1980).

Novel Cintaku di Kampus Biru semula berupa cerita bersambung dalam surat kabar Kompas (1972). Kemudian diterbitkan oleh PT Gramedia tahun 1974. Hal yang sama  terjadi pada novel Kugapai Cintamu dan  Terminal Cinta Terakhir. Kedua novel itu awalnya dimuat sebagai cerita bersambung dalam surat kabar Kompas dan mendapat sambutan hangat dari pembaca.

"Sastra Bulan Purnama merasa perlu membuat edisi spesial untuk menandai delapan puluh tahun usia Ashadi dengan satu peristiwa budaya, yakni pembacaan nukilan novel karya Ashadi Siregar, yang ditulis pada masa awal dan  akhir," ujar Ons Untoro.

Acara yang digagas oleh komunitas Sastra Bulan Purnama berkolaborasi dengan Freedom Institue, Penerbit KPG (Kepustakaan Populer Gramedia),   Perkumpulan Seni Nusantara Baca, dan beberapa institusi lainnya, diawali dengan sambutan Ons Untoro yang sekaligus memperkenalkan sosok Dedi Purwadi (lulusan Antropologi UGM, pemilik brand Batikjolawe).

Dedi membawa lukisan batik motif Bulaksumuran dengan pewarna alam. Malam itu Dedi menyerahkan lukisan batik penuh simbol. Lelaki yang selama sepuluh tahun bekerja di LP3J (milik Ashadi Siregar) menjelaskan bahwa berkat Cintaku di Kampus  Biru,  motif Bulaksumuran tercipta.

Bulaksumuran bukan motif UGM maupun Kagama. Motif Bulaksumuran lebih menorehkan   pesan bahwa warga Bulaksumur diharapkan menjadi orang berlaku baik, sarwa becik. Bisa menerangi (handamari),  mencerahkan, dan menjalani saptaresi (cemara tujuh) untuk tidak bermewah-mewah,  tidak mengambil hak orang lain. Semua itu tidak lepas dari pitulungan dan pitutur yang diwakili oleh garis lengkung tujuh, tergambar di lukisan.

Dalam pengantar acara malam itu, Ashadi Siregar menyatakan bahwa tiap kali orang memberi penghargaan terhadap novelnya, ia jadi ingat kalau proses menulisnya  tidak niat banget. Herannya kok ujung-ujungnya malah  mendapat penghargaan.

"Banyak kehidupan saya yang dijalani tidak begitu niat, kecuali untuk menjadi wartawan. Itu niat betul, malah nggak kesampaian. Jadi ya begitulah nasib, yang diniati tak kesampaian, yang tak diniati malah dirayakan orang," kelakar Ashadi disambut tepuk tangan hadirin.

Baginya, semua memang harus dijalani, disyukuri. Karena pada dasarnya ia menulis novel sebagai suatu kecelakaan saja. Bahkan novel-novel yang ditulis pada era 70-an, boleh dibilang lebih bersifat by-accident, akibat mengalami kesulitan untuk menulis artikel dan karya jurnalistik lainnya di media pers umum, setelah diadili dan divonis bersalah dalam perkara penghujatan Suharto.

Tidak  jadi wartawan, padahal seluruh tradisi akademiknya adalah menghadapi fakta, realitas, bukan fiksi.  Ia membaca fiksi seadanya saja karena waktu SMA masuk bagian Paspal (IPA). Jadi tidak ada keseriusan  membaca sastra.

Masuk ke Publisistik Sospol, niat jadi wartawan, malah tidak kesampaian. Meskipun menulis novel adalah kecelakaan, tapi ternyata kecelakaan yang menguntungkan dan menyenangkan, bukan menjadi ciloko.

Seingat Ashadi, novel terakhirnya Jentera Lepas (1982), sebelum ia terlibat serius dengan pelatihan jurnalistik untuk para wartawan dan calon wartawan, serta melupakan sastra. Ia mengajarkan bagaimana mendapatkan, memahami, dan mengolah fakta. Sampai pada kesimpulan bahwa fakta jauh lebih berharga dari pada fiksi.

"Maka dalam menulis novel, fakta itu jauh lebih penting bagi saya. Dengan latar fakta itulah saya mengembangkan fiksi, imajinasi. Jadi cerita-cerita fiksional itu ada dalam latar faktual," ujar Ashadi serius.

Ketika orang membaca Cintaku di Kampus Biru, yang paling utama sebenarnya bukan cerita cintanya, tetapi tentang fakta situasi Yogyakarta pada tahun 1970-an.   Hal yang sama juga tercermin dalam novel Menolak Ayah (2018) berisi dunia faktual  tentang Sumatera dan Jakarta. Fakta yang dikenali dan dihayati merupakan latar seluruh cerita Ashadi.

Saat meraih penghargaan Ahmad Bakrie Award (2019), Ashadi mengatakan bahwa semua novelnya menempatkan orang muda sebagai tokoh sentral yang mencari jati diri. Karya-karya fiksinya  berangkat dari latar faktual, karena sebagai jurnalis dan akademikus dia menggeluti realitas atau fakta.

Lewat fiksi, Ashadi berkeinginan mengomunikasikan fakta-fakta. Fakta-fakta tersebut ada yang berasal dari realitas sehari-hari,  ada pula berupa realitas kesejarahan yang perlu referensi historiografi.

Usai pengantar Ashadi, tampil politikus Rizal Malarangeng bersama jurnalis gaek,  Saur Hutabarat. Mereka berdua menyerahkan buku Penjaga Akal Sehat di Kampus Biru, ditulis teman-teman Ashadi,   diterbitkan saat Ashadi Siregar pensiun.

"Buku ini cocok untuk mahasiswa Fisipol UGM," celetuk Rizal saat menyerahkan buku ke Ashadi.

Saur Hutabarat, menilai Ashadi Siregar sebagai guru, abang,  dan juga teman. Dalam tiga relasi itu Ashadi konsisten memilih hubungan setara,  ia memanggil Saur dengan "Bung Saur". Panggilan itu menunjukkan Ashadi Siregar sebagai seorang egaliter.

"Bertemu Ashadi, berbincang dengannya, pertemuan dialogis. Pikirannya tak jarang "mengganggu" pikiran saya, perkara yang bikin kangen untuk ketemu Bang Hadi," ujar Saur.

Pentas dramatic reading nukilan dua novel karya Ashadi, Cintaku di Kampus Biru (1972), dibacakan Rosana Hariyanti, alumni Sastra Perancis FIB UGM, sekarang mengajar di Prodi Sastra Perancis FIB Unibraw, Malang. Sedangkan nukilan   Menolak Ayah (2018) dibacakan  Landung Simatupang, aktor dan sutradara teater.

Dengan memakai topi hitam, kaus dibalut hem lengan panjang  berwarna merah, dipadukan celana  dan sepatu berwarna cokelat, Landung Simatupang mampu "menyihir" penonton untuk terus memperhatikan pembacaannya.Di tangan lelaki berdarah Batak itu, Menolak Ayah, menjadi nukilan begitu memukau.

Menolak Ayah, secara lengkap bercerita mengenai perjalanan hidup anak Batak bernama Tondinihuta, yang ditinggalkan ayahnya dari kecil, sang ayah pergi meninggalkan tanah Batak dan menjadi pejabat di Ibu Kota Jakarta. Sang ayah bahkan membuang nama marganya.

Ibu Tondi, Halia, merupakan pedagang warung gorengan di bawah jebatan kereta api. Halia bertekad  setia kepada marga Padomutua; suaminya. Suami yang bahkan terasa bukan suami, karena Pardomutua tidak pernah datang lagi padanya. Ia juga tidak pernah meminta cerai. Sementara Tondi, hidup dengan segala keterbatasan, tidak mampu melanjutkan sekolah, menjadi kenek bus.

Seiring berjalannya waktu, kehidupan Tondi berubah. Dia bukan lagi kenek bus. Tapi menjadi pasukan relawan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia),  dilatih menjadi pejuang melawan ketidakadilan di daerahnya. Sebenarnya, Tondi sendiri tidak begitu paham apa arti perang ini. Dia hanya tahu PRRI dibentuk karena kekecewaan daerah-daerah terhadap pemerintah pusat.

Lewat nukilannya, Landung dengan cerdik menggambarkan saat  Tondi menjadi kenek, tentara hutan, bertemu ibu, dan berjumpa serta menolak ayahnya. Dari awal cerita, Landung berhasil membangun keingintahuan penonton terhadap nasib  Tondi.

Keberhasilan pembacaan Landung didukung pemanfaatan layar lebar yang  difungsikan menampilkan latar, tokoh, dan suasana dalam cerita dengan cermat. Musik garapan Bagus Mazasupa, semakin menguatkan penampilan Landung. Ditambah kefasihan  dan intonasi Landung   menyebutkan nama-namah tokoh, hubungan kekerabatan, tradisi,  dan nama-nama tempat di Sumatera Utara.

Novel Menolak Ayah memang dipenuhi kosa kata bahasa Batak, sehingga sulit dipahami oleh masyarakat di luar Batak.  Meskipun begitu (seperti diungkapkan Delasyahma dalam goodreads.com), novel ini menjadi penting untuk memahami bagaimana orang Batak   pernah memiliki keyakinan  tersendiri yang mungkin sampai sekarang masih ada.

Selebihnya tentang PRRI,  Soekarno dan orang-orang di dalam pemeritahannya,  perjuangan seorang anak muda di dalam hutan belantara, dan tentang kesetiaan seorang perempuan. (*)

Budayaberitafuture

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *