Connect with us

News

Analisis: Trump dan Ambisi Gencatan Senjata Gaza untuk Populeritas Politik


pinare.online

Analis menilai Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memiliki ambisi untuk mencetak “kesepakatan besar” mengenai gencatan senjata di Gaza demi prestasi politiknya.

Trump akan bertemu dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Washington pada Senin (7/7/2025).

Banyak pihak menaruh harapan sekaligus rasa skeptis bahwa pertemuan ini akan menghasilkan kesepakatan damai.

Ini akan menjadi pertemuan ketiga mereka pada tahun ini.

Pertemuan Trump-Netanyahu diperkirakan bakal menjadi momen penting bagi Presiden AS untuk memamerkan keberhasilan diplomasi yang ia capai.

Menurut Khaled Elgindy, pakar Israel-Palestina dari Georgetown University, Trump ingin tampil sebagai pemimpin yang berhasil memulangkan tawanan Israel, menormalisasi hubungan Israel dengan negara-negara Arab, dan bahkan membuka jalan menuju negara Palestina.

"Trump ingin bisa mengatakan bahwa ia telah mendapatkan kembali sandera Israel dan mendapatkan negara Palestina,"

"Dengan begitu, ia dapat menyebut dirinya penguasa dunia, tetapi mendapatkan semua itu jauh lebih sulit daripada yang ia kira," kata Elgindy kepada Al Jazeera.

Elgindy menilai gaya diplomasi Trump cenderung bersifat “memeras dan memaksa” lawan politik, demi mencapai hasil yang bisa dijual ke publik sebagai kemenangan pribadi.

Trump sebelumnya mengklaim AS dan Israel telah "melenyapkan" program nuklir Iran dalam perang 12 hari, dan ia bersumpah akan mengebom Iran jika aktivitas nuklirnya dimulai kembali.

Minggu lalu, Trump mengumumkan bahwa Israel telah menyetujui rencana gencatan senjata 60 hari di Gaza untuk membuka jalan mengakhiri perang yang telah berlangsung 21 bulan.

Pada 4 Juli, Hamas memberikan tanggapan positif kepada mediator Qatar dan Mesir terkait proposal tersebut.

Namun pemerintah Israel menyebut Hamas meminta perubahan yang dianggap “tidak dapat diterima” dan telah mengirim negosiator ke Qatar untuk melanjutkan pembicaraan.

Menurut salinan dokumen yang diperoleh Al Jazeera, kesepakatan itu berisi jeda permusuhan selama 60 hari dan pembebasan bertahap sebagian dari 58 tawanan Israel yang ditahan sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023.

Perang di Gaza sejauh ini telah menewaskan sedikitnya 57.000 orang, sebagian besar perempuan dan anak-anak, dan oleh pakar PBB serta kelompok HAM disebut sebagai genosida.

Omar Rahman, analis di Middle East Council on Global Affairs, mengaku skeptis dengan cara pembicaraan gencatan senjata ini dibingkai.

Ia menilai fokus Trump hanya pada pembebasan tawanan Israel, bukan pada upaya menghentikan penderitaan rakyat Gaza.

“Cara pembicaraan gencatan senjata dibingkai membuat saya skeptis,” katanya.

Trump sendiri pernah berjanji menghentikan perang usai mendorong gencatan senjata beberapa hari sebelum resmi menjabat pada Januari lalu.

Selang dua bulan kemudian, ia tidak mengambil langkah apa pun saat Israel kembali melanjutkan serangan yang menewaskan ribuan orang.

Mairav Zonszein dari International Crisis Group menilai hal itu bisa kembali terulang.

“Semuanya bergantung pada Trump dan AS untuk menekan Netanyahu, tapi hal itu sangat diragukan,” ujarnya kepada Al Jazeera.

Ia menambahkan kemungkinan besar gencatan senjata singkat tidak akan menghentikan serangan udara Israel ke Gaza.

Di Gaza sendiri, masyarakat terbelah pendapat mengenai peluang kesepakatan ini benar-benar menghentikan perang.

Jurnalis Palestina Yaser al-Banna mengatakan sebagian warga pesimis Netanyahu akan menaati kesepakatan, sementara sebagian lain berharap kepentingan bersama negara-negara Arab, Israel, dan AS bisa membuat kali ini berbeda.

Sementara itu, Netanyahu terus menegaskan perang tidak akan berakhir tanpa "kemenangan total" atas Hamas, meski konsep tersebut belum didefinisikan secara jelas.

Netanyahu juga menghadapi tantangan politik di dalam negeri.

Koalisi sayap kanannya rentan runtuh jika gencatan senjata permanen tercapai, karena tekanan internal untuk melanjutkan perang.

Hugh Lovatt dari European Council on Foreign Relations mengatakan Netanyahu bisa menggunakan jeda 60 hari untuk berkampanye dalam pemilu atau kembali berperang demi menjaga koalisinya tetap solid.

Selain itu, Netanyahu juga sedang menghadapi beberapa dakwaan pidana di pengadilan Israel.

Trump sendiri sempat mendesak Israel mencabut dakwaan tersebut, menyebut proses hukum itu sebagai “perburuan penyihir”.

Dalam unggahan pada 28 Juni, Trump bahkan menyinggung kemungkinan menahan bantuan militer AS ke Israel jika tuntutan terhadap Netanyahu tidak dibatalkan.

Elgindy menilai pendekatan itu memperlihatkan prioritas Trump yang lebih mementingkan keuntungan politik Netanyahu daripada nasib warga Gaza.

Keputusan pengampunan berada di tangan Presiden Israel Isaac Herzog, yang hingga kini belum memberi sinyal akan melakukannya.

Analis meyakini Herzog hanya bersedia mempertimbangkan pengampunan jika Netanyahu setuju mundur dari politik.

Zonszein menilai itu sangat kecil kemungkinannya.

“Jika dia bersedia meninggalkan kehidupan politik, dia bisa menegosiasikan kesepakatan pembelaan,” ujarnya kepada Al Jazeera.


(pinare.online/ Andari Wulan Nugrahani)

beritapolitikfuture

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *