Connect with us

Ahli Bocorkan Rahasia Persidangan Tom Lembong! Apa Ini Kriminalisasi Politik?


Warta Bulukumba

– Di balik tumpukan dokumen dan mikrofon yang merekam setiap desah napas, persidangan Tom Lembong menjelma lebih dari sekadar sengketa impor gula—ia jadi panggung pertaruhan reputasi, kekuasaan, dan kebenaran yang belum tentu sederhana.

Sidang Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan, menjadi panggung drama hukum yang tak hanya mempersoalkan kebijakan impor gula, tetapi juga membuka kemungkinan kriminalisasi politik.

Pada Januari 2016, stok gula nasional tercatat hanya 816.000 ton. Jumlah itu jauh di bawah kebutuhan bulanan sekitar 250.000 ton. Produksi tebu dalam negeri belum berjalan hingga April.

Dalam rapat koordinasi pada 7 Desember 2015, para menteri memutuskan untuk mengimpor 200.000 ton gula kristal mentah. Delapan perusahaan rafinasi ditunjuk mengolahnya menjadi gula kristal putih.

"Ini kebijakan antisipasi," ujar Antoni Budiawan, pengamat ekonomi senior, dalam wawancara di kanal YouTube Abraham Samad Speak Up dalam video berjudul "" pada Ahad, 6 Juli 2025.

"Tanpa impor, kelangkaan gula pasti terjadi. Industri gula akan kolaps," tegasnya.

Menurut Budiawan, kebijakan ini justru menyelamatkan perekonomian nasional dengan menekan devisa impor dan meningkatkan pajak dari proses pengolahan di dalam negeri. Namun, jaksa menuding kebijakan tersebut melanggar Pasal 4 yang hanya memperbolehkan impor gula kristal putih untuk stabilisasi harga.

"Jaksa salah tafsir," kata Budiawan. "Impor gula kristal putih merugikan negara karena nilai tambahnya dinikmati produsen asing. Sementara impor gula mentah menguntungkan Indonesia."

Kerugian negara dan tuduhan yang dipersoalkan

Jaksa menyebut PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) membayar harga gula Rp9.000 per kilogram. Angka itu dianggap terlalu tinggi karena melebihi harga dasar Rp8.900 per kilogram.

"Ini kejanggalan," jelas Budiawan. "Harga dasar adalah batas terendah untuk melindungi petani, bukan batas maksimum."

Faktanya, BUMN seperti PTPN membeli gula petani jauh lebih mahal, bahkan mencapai Rp13.608 per kilogram pada Mei 2016. Budiawan mempertanyakan mengapa hal ini tak pernah dianggap kerugian negara.

Lebih lanjut, BPKP menghitung kerugian negara hingga Rp578 miliar, termasuk pajak impor yang disebut kurang bayar karena diasumsikan sebagai gula kristal putih.

"Ini absurd," kata Budiawan. "Pajak sudah dibayar sesuai barang impor. PPN dan PPh justru lebih besar karena ada proses pengolahan dalam negeri. Lagi pula, BPKP bukan lembaga yang berwenang menentukan kurang bayar pajak—itu kewenangan Direktorat Jenderal Pajak."

Dugaan motif politik di balik persidangan

Persidangan Lembong memicu spekulasi lebih luas. Budiawan mempertanyakan mengapa hanya kebijakan impor di periode Agustus 2015–Juli 2016 yang dipersoalkan, padahal impor gula terjadi setiap tahun.

"Kenapa hanya Lembong yang ditarget?" ujarnya.

Pada 13 Oktober 2023, Lembong menerima peringatan soal surat perintah penyidikan, beberapa hari setelah resmi bergabung menjadi ko-kapten tim sukses Anies Baswedan. "Ini intimidasi," tegas Budiawan.

Pemeriksaan dimulai pada 10 Oktober 2023. Lembong kemudian ditahan pada 29 Oktober dengan tuduhan kerugian negara Rp400 miliar. Angka itu berubah menjadi Rp578 miliar setelah audit BPKP tanggal 20 Januari 2025.

"Ditahan dulu, baru cari kerugiannya. Ini rekayasa," kata Budiawan.

Ada pula kabar Lembong berencana mendirikan partai baru untuk Pemilu 2029. Budiawan menduga langkah hukum ini berkaitan dengan upaya mengamankan pengaruh politik.

"Saya menduga kuat Jokowi di balik ini," katanya. "Mungkin untuk mendiskreditkan Prabowo dan mengamankan posisi Gibran."

Bagi sebagian pengamat, sidang Lembong bukan hanya tentang impor gula. Ini soal integritas hukum dan risiko penyalahgunaan kekuasaan.

Jika kebijakan antisipasi krisis pangan bisa dikriminalisasi, pertanyaannya sederhana: siapa yang berikutnya.***

Sosialberitafuture

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *