Kelas Menengah Berkurang 10 Juta dalam 5 Tahun, Bagaimana Bertahan dan Naik Kelas?
JAKARTA, pinare.online
— Populasi kelas menengah Indonesia menyusut drastis dalam lima tahun terakhir. Padahal, kelompok ini digadang-gadang sebagai penopang pertumbuhan ekonomi domestik dan daya tarik investasi asing.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada 2024 kelas menengah hanya mencakup 17,13 persen dari total penduduk atau hampir 48 juta jiwa. Angka itu turun signifikan dibandingkan 57 juta jiwa pada 2019. Artinya, dalam periode 2019–2024, sekitar 9,5 juta orang keluar dari kategori kelas menengah.
Di tengah ketidakpastian ekonomi global, tekanan inflasi, dan perubahan pola kerja pasca-pandemi, menjaga posisi di kelas menengah menjadi tantangan. Apalagi, gaya hidup konsumtif dan pengelolaan keuangan yang kurang sehat membuat banyak orang terjebak di tengah jalan, atau bahkan turun kelas.
“Ketika kita berada di kelas menengah, kita punya tiga pilihan: naik ke kelas atas, tetap di tempat, atau malah turun menjadi kelas bawah,” kata Eveline Haumahu, Chief Marketing Officer PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, dalam keterangan tertulis, dikutip Minggu (6/7/2025).
Menurut Eveline, faktor eksternal seperti kondisi ekonomi memang sulit dikendalikan. Namun, faktor internal seperti pola pikir dan kebiasaan finansial justru sangat menentukan.
“Banyak orang belum memahami bagaimana seharusnya uang dikelola. Mereka menghabiskan seluruh pendapatan bulanan untuk konsumsi dan cicilan, berharap bulan depan akan ada rezeki lagi,” ujar Eveline.
Ia menilai, gaya hidup konsumtif yang mengandalkan cicilan untuk simbol status, dari mobil, liburan, hingga rumah dan sekolah anak, adalah jebakan umum kelas menengah.
Untuk bisa naik ke kelas atas, yang dibutuhkan adalah perubahan cara pandang terhadap uang.
Salah satu prinsip utama adalah menunda kenikmatan. Pendapatan bulanan sebaiknya tidak langsung dihabiskan untuk konsumsi, melainkan dibelikan aset yang bisa menambah nilai.
“Aset produktif yang terus bertambah akan menghasilkan pendapatan tambahan. Sebagian bisa dipakai untuk hidup, sisanya kembali dibelikan aset agar mesin uang makin besar,” tutur Eveline.
Apakah hal ini bisa dilakukan dengan pendapatan kelas menengah? Menurut Eveline, jawabannya bisa. Ia mencontohkan, pasar modal menawarkan berbagai pilihan investasi yang sangat terjangkau.
“Investasi saham dan obligasi ritel bisa dimulai dari Rp 100.000 atau Rp 1.000.000. Bahkan, investor reksa dana bisa memulai hanya dengan Rp 10.000. Dengan strategi diversifikasi dan manajemen aset oleh Manajer Investasi, potensi pertumbuhannya signifikan,” jelasnya.
Selain disiplin, Eveline menyoroti pentingnya pemahaman risiko. “Mereka yang memiliki cara pandang kelas atas tahu persis seberapa besar risiko yang sanggup ditanggung. Mereka tidak ikut-ikutan tren investasi tanpa dasar yang kuat,” ujarnya.
Kualitas lain yang menonjol di kalangan kelas atas adalah kesabaran. Mereka memahami kekuatan bunga berbunga atau compounding interest. Dalam jangka pendek, hasil investasi mungkin belum terasa, namun dalam 5–10 tahun, pertumbuhannya bisa eksponensial.
“Kelas menengah dan kelas atas itu bukan sekadar status, melainkan cara pandang dan pola perilaku. Dan itu bisa kita bentuk dan kendalikan,” pungkas Eveline.
Dengan strategi yang tepat dan pola pikir yang disiplin, kelas menengah tidak hanya bisa bertahan, tetapi juga memiliki peluang nyata untuk naik kelas, bahkan di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Ekonomiberitafuture
