Connect with us

Tersandung di Halte Pertama

Halte. Terhenti sejenak, berharap segala gagasan turun dari langit, memompa diri untuk terus meneruskan harapan dalam tulisan-tulisan khas yang sering kali padam. Kita lupa, waktu terhenti begitu lama. Di halte itu,

Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari, waktu terus memacu dirinya tanpa siaga siapapun mereda dan menghentikan. Akhirnya, tubuh-tubuh ragu begitu lama tak mengungkapkan kata dan makna. Waktu menghentikan, dan begitu lama terjebak dalam keheningan sementara. Kata-kata yang biasanya terangkai dalam bait-bait makna tak juga menyala, dan aku terdiam dalam kebusukan kemalasan.

Biasanya kata-kata yang kurangkai membunuhku dari segala peristiwa yang tetap terjadi dan hilang silih berganti, hingga peristiwa-peristiwa yang kubaca selalu saja melahirkan air mata duka, air mata gembira dan air mata kekecewaan. Aku tak lagi sanggup menghidangkan makna dalam kata yang kurangkai menjadi nada keindahan. Begitu kelu, jari-jari untuk melepaskan kata, ketakutan yang terus menghantui; kata itu hanya sekadar amarah dan dendam membara.

Ragaku begitu sibuk, peluh memandikanku setiap hari, apalagi jerit dan tangis bocah-bocah dalam kelas selalu saja menuntut kehebatan seorang guru dan menuntutnya menjadi pahlawan dalam hidup. Aku seringkali terjebak dalam permainan nilai dan prestasi semata. Begitu nyata, segalanya melupa dan melarutkan dayaku, menjeratku dan melemakkan ku. Tapi, menyusun kata tak sebanding menyusun hidup anak-anak kehidupan. Tetapi, segalanya begitu rupa menghentikanku. Di halte ini,

Aku tak lagi sanggup menghidangkan makna dalam kata yang kurangkai menjadi nada keindahan. Begitu kelu, jari-jari untuk melepaskan kata, ketakutan yang terus menghantui; kata itu hanya sekadar amarah dan dendam membara.

Dalam rangkaian kata dan makna, kubagikan segala cita dan cerita, lewat satu demi satu huruf yang terus kususun. Lewat tengah malam terkadang aku terbangun, kubuka papan ketik dan terangkai begitu saja setiap makna. Bahkan terkadang aku begitu saja lupa yang aku tuliskan, aku lupa yang aku rangkaikan. Tapi di halte itu, aku tak sanggup lagi membagian cerita, seolah terus terperdaya dalam setiap rutinitas yang terus menyiksa. Namun, putaran waktu begitu rupa membangunkanku dan terbangun saat halte itu menyisakan bus kota terakhir yang harus lewat.

Aku terbangun karena setiap kata yang kurangkai membangunkanku. Aku membuka mata saat makna kata terakhir yang aku cipta muncul dalam setiap mimpi-mimpiku. Aku terduduk dari rebahan panjang yang melemahkanku, sesaat terdiam, sebelum layar kecil ini tersenyum dalam kerinduan. Kerinduan pada paduan makna dalam kata yang terus aku rangkaian. Kini, aku terduduk sepanjang malam menyatukan kata yang pantas aku padukan, antara hati dan budiku.

Aku terdiam sepanjang malam, menatap kata demi kata yang pernah aku rangkai dan terus memaknainya, tetapi aku tak sanggup lagi menyentuh maknanya. Kata yang kurangkai telah begitu rupa melupakan peristiwa-peristiwa yang pernah menyentuhku. Aku terus terkesima dalam kata tanpa peristiwa, aku terus tertegun pada makna tanpa tanda nyata. Semua begitu rupa melenyapkan ingatan dan kebodohanku yang terus menggerogoti usiaku.

Aku terbangun karena setiap kata yang kurangkai membangunkanku. Aku membuka mata saat makna kata terakhir yang aku cipta muncul dalam setiap mimpi-mimpiku.

Meski aku sanggup membacanya, aku tak pernah sanggup menyusun maknanya. Karena, sejatinya aku telah terhenti sesaat di halte itu menantikan bus terakhir yang tak pernah lagi melewatinya.

Sosialberitafuture

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *