News
Ketaatan Muslim dalam Bernegara: Tantangan dan Solusi

Oleh: Aswar Hasan
Dosen Fisipol Unhas
pinare.online
– “YA ayyuhallazina amanu aiullaha wa a i’ur-rasula wa ulil-amri minkum. Fa in tanaza’tum fi syai in farudduhu ilallahi war-rasuli in kuntum tuminuna billahi wal-yaumil-akhir, zalika khairun wa sanu ta`wila.” (QS. An-Nisa: 59) Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), serta ulil amri di antara kamu.
Kemudian, jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Ayat ini menjelaskan kewajiban menaati Allah, Rasul-Nya, dan ulil amri (pemimpin).
Dalam konteks bernegara dan kehidupan beragama, umat Islam diajarkan untuk taat kepada tiga otoritas utama: Allah, Rasul, dan ulil amri.
Ajaran ini ditegaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 59. Ayat Qur’an Surat An-Nisa tersebut merupakan landasan penting dalam etika politik berpemerintahan dalam Islam.
Ia menyeimbangkan antara ketaatan kepada otoritas dan komitmen terhadap nilai-nilai kebenaran.
Para ulama sepakat bahwa ketaatan kepada ulil amri hanya sah jika mereka berjalan di atas prinsip keadilan dan syariat.
Jika tidak, umat wajib menyuarakan kebenaran, bukan dengan kekerasan, tapi dengan dakwah, nasihat, dan perbaikan sistematis. Ayat ini menegaskan tiga bentuk ketaatan:
1. Ketaatan mutlak kepada Allah. 2. Ketaatan kepada Rasulullah. 3. Ketaatan kepada ulil amri (pemimpin atau otoritas umat).
Namun, para ulama menjelaskan bahwa bentuk ketaatan kepada ulil amri bukan mutlak, tapi bersyarat, yaitu selama mereka tidak menyuruh pada maksiat.
Hal ini didasarkan pula pada hadis Nabi SAW: “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal maksiat kepada Allah.” (HR. Ahmad).
Al-Qurthubi menyatakan bahwa ayat ini mewajibkan umat Islam untuk tunduk pada syariat dan otoritas yang menjaga syariat, yaitu ulama dan penguasa. Namun, bila timbul konfl ik, kebenaran harus dikembalikan kepada AlQur’an dan Sunnah.
Dalam tafsir Al Mishbah volume 2 oleh Prof. Quraish Shihab, dijelaskan bahwa kata ketaatan kepada Ulil Amri tidak disertai dengan kata (perintah) taatlah karena mereka tidak memiliki hak untuk ditaati bila ketaatan kepada mereka bertentangan dengan ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul SAW.
Seorang muslim wajib memperkenankan dan taat menyangkut apa saja ( yang diperintahkan oleh Ulil Amri) suka atau tidak suka.
Tetapi, bila ia diperintahkan berbuat maksiat, ketika itu tidak boleh memperkenankan, tidak juga taat (HR. Bukhari dan Muslim melalui Ibnu Umar).
Taat dalam bahasa Al Qur’an berarti tunduk, menerima secara tulus dan menemani.
Ini berarti ketaatan dimaksud bukan sekadar melaksanakan apa yang diperintahkan, tetapi, tetapi juga ikut berpartisipasi dalam upaya yang dilakukan oleh penguasa untuk mendukung usaha-usaha pengabdian kepada masyarakat.
Dalam konteks inilah Nabi Saw bersabda adDinu an nashihah (agama adalah nasihat).
Ketika para sahabat bertanya: “ untuk siapa?” Nabi Saw antara lain menjawab, “untuk para pemimpin kaum muslimin dan khalayak ramai mereka” (HR. Muslim melalui Abu Ruqayyah Tamim Ibnu Aus ad- Dari) Nasihat dimaksud adalah dukungan positif termasuk kontrol sosial demi suksesnya tugas-tugas yang mereka emban.
Siapa Itu Ulil Amri Siapa yang dimaksud dengan ulil amri? Para mufasir seperti Ibn Katsir dan Al-Qurthubi menjelaskan bahwa ulil amri mencakup dua unsur: pemimpin negara dan ulama yang memelihara ajaran. Ibn Katsir menekankan bahwa ketaatan kepada ulil amri hanya berlaku dalam kebaikan.
Jika terjadi penyimpangan, umat diperintahkan untuk mengembalikan perkara kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnah), sebagaimana akhir ayat tersebut menegaskan.
Sementara itu Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menegaskan, ketaatan kepada penguasa adalah bagian dari menjaga stabilitas umat.
Namun, jika penguasa menzalimi rakyat, maka rakyat wajib mengingatkan, bukan diam dan membiarkan kezaliman tumbuh.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, tokoh salaf yang terkenal tegas terhadap penyimpangan kekuasaan, mengatakan bahwa kehadiran pemimpin, meski buruk, masih lebih baik daripada kekacauan tanpa kepemimpinan.
Namun, ia tidak menafi kan hak umat untuk berdakwah kepada kebenaran dan memperbaiki kekuasaan dari dalam, bukan dengan pemberontakan anarkis.
Almarhum Prof. Azyumardi Azra menafsirkan ulil amri dalam konteks negara demokrasi modern sebagai gabungan dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Menurutnya, dalam sistem demokrasi, ketaatan tidak boleh membabi buta. Rakyat justru harus kritis dan aktif mengawasi agar kekuasaan tidak menyimpang dari nilai keadilan.
Dalam pada itu, Dr. Yusuf al-Qaradawi dalam Fiqh Daulah bahkan menekankan pentingnya partisipasi politik umat.
Menurutnya, ketaatan kepada pemimpin hanya sah selama tidak merusak prinsip syariat, keadilan, dan kemaslahatan umum.
Senada dengan itu, cendekiawan Eropa keturunan Mesir, Tariq Ramadan, juga memberikan refl eksi mendalam.
Bagi dia, ayat An-Nisa: 59 justru menjadi pendorong keterlibatan aktif umat dalam membangun tatanan sosial yang adil dan bermoral.
Ia mengingatkan agar umat tidak menjadikan ayat ini sebagai legitimasi kekuasaan absolut yang menindas.
Dengan demikian Umat Islam dituntut tidak hanya taat, tetapi juga cerdas. Taat kepada pemimpin bukan berarti membenarkan kebijakan yang menyengsarakan rakyat.
Justru dengan menasihati dan mengoreksi pe nguasa, umat sedang menjalankan kewajiban agama yang lebih tinggi: menjaga amanah kekuasaan agar tetap dalam koridor Allah dan Rasul-Nya. Wallahu a’lam bisawwabe.
Sosialberitafuture
