Connect with us

News

Pengusaha Batubara Datang Saat KFC Tumbang

Ketika Ayam Goreng Tak Lagi Sekadar Gurih

Pada 3 Juli 2025, layar gawai saya menampilkan sebuah berita yang mencengangkan: PT Fast Food Indonesia (FAST), pemegang waralaba KFC di Indonesia, melepas 15% saham PT Jagonya Ayam Indonesia kepada Liana Saputri, putri pengusaha batu bara asal Kalimantan Selatan—Haji Isam—dengan nilai transaksi Rp54,44 miliar.

Saya terdiam beberapa saat. Di tengah turunnya performa KFC Indonesia, apakah kehadiran keluarga Haji Isam akan menjadi angin segar yang menyelamatkan kapal yang sedang karam? Atau ini sekadar manuver bisnis agar tetap terapung dalam badai citra?

Mari kita menelusuri bukan hanya angka, tetapi juga rasa. Bukan sekadar strategi, tapi nurani.

Gurih yang Pudar: Saat Rasa Tak Lagi Cukup

Dulu, KFC bukan sekadar ayam goreng—ia adalah ikon gaya hidup kelas menengah. Tempat ulang tahun anak-anak dimeriahkan dengan balon dan topi kertas. Tempat para remaja berkencan tanpa canggung. Tempat keluarga melepas rindu dengan seember ayam renyah dan saus tomat sachet.

Namun zaman berubah.

Dalam setahun terakhir, laporan keuangan FAST menunjukkan kerugian, harga sahamnya anjlok lebih dari 60% dari titik tertinggi, dan loyalitas konsumen mulai goyah.

Dan penyebabnya bukan karena ayamnya tak lagi lezat.

Tapi karena hati mulai bicara lebih keras dari perut.

Geopolitik, boikot simbolik, hingga kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan membuat orang lebih selektif:

"Apa yang saya makan… sejalan kah dengan apa yang saya yakini?"

Masuknya Haji Isam: Harapan Baru atau Hanya Strategi?

Kabar masuknya Liana Saputri melalui PT Shankara Fortuna Nusantara ke Jagonya Ayam Indonesia menjadi babak baru. FAST menyebut dana ini akan digunakan untuk:

Membangun peternakan ayam terintegrasi di Banyuwangi,Memperkuat rantai pasok—yang selama ini bergantung pada vendor luar,Menurunkan biaya bahan baku hingga 35%,Menguatkan JAI sebagai mesin pertumbuhan baru di luar KFC.

Ini bukan hanya transaksi saham.

Ini adalah sinyal bahwa mereka bersiap menyelamatkan bukan hanya bisnis, tapi juga marwah brand yang selama ini terancam goyah.

Namun satu pertanyaan masih menggantung:

Apakah suntikan modal cukup tanpa perbaikan moral?

Citra, Empati, dan Krisis yang Tak Kasat Mata

Konsumen hari ini tak mudah diyakinkan hanya dengan promo atau endorsement selebriti.

Mereka membaca label. Mereka bertanya soal asal bahan baku. Mereka peduli apakah brand yang mereka dukung juga berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan.

Sementara beberapa brand lokal:

Mengangkat isu Palestina dalam kampanye sosial mereka,Menyalurkan sebagian profit untuk donasi,Dan tetap ramah di kantong masyarakat kelas menengah ke bawah.

KFC Indonesia masih berkutat pada pendekatan lama: influencer, promo, dan gimmick yang tak menyentuh hati.

Saat Brand Lokal Jadi Juara Hati

Sabana, D’Besto, Hisana, Rocket Chicken… mereka bukan raksasa, tapi mereka merakyat.

Harga mereka bersahabat, kehadiran mereka terasa dekat, dan—yang paling penting—mereka tidak berjarak dengan nurani konsumen.

Tanpa bintang K-Pop, mereka tetap disukai.

Tanpa baliho raksasa, mereka tetap diburu.

Karena mereka menjual bukan hanya rasa, tapi juga rasa memiliki.

Empat Langkah KFC untuk Bangkit dari Keterpurukan

Untuk bangkit, KFC Indonesia perlu lebih dari sekadar uang. Ia butuh:

1. Diversifikasi model bisnis

Investasi ke JAI adalah langkah awal. Tapi harus disertai transparansi, inklusi, dan keberpihakan pada peternak lokal dan UMKM.

2. Rekonstruksi citra dengan aksi nyata

Citra tak bisa dibentuk dari iklan. Ia tumbuh dari keberanian mendengar publik, memberi empati, dan tampil rendah hati.

3. Menyatu dengan denyut masyarakat

Hadir dalam komunitas, ikut serta dalam kegiatan sosial, dan memberi ruang dialog dengan konsumen.

4. Redefinisi ‘Jagonya Ayam’

Jadilah jagoan bukan hanya di dapur, tapi juga di ranah sosial dan kemanusiaan.

Penutup: Ayamnya Mungkin Sama, Tapi Sikap Tak Pernah Netral

Dulu, memilih ayam goreng adalah soal rasa dan harga.

Kini, itu bisa menjadi pernyataan sikap. Sebuah bentuk solidaritas. Sebuah ekspresi nilai.

KFC Indonesia pernah menjadi bagian dari banyak kenangan indah masyarakat kita. Tapi nostalgia tak cukup untuk bertahan dalam gelombang zaman yang berubah.

Suntikan dana dari keluarga Haji Isam semoga bukan hanya soal untung-rugi.

Tapi menjadi awal dari sebuah transformasi—yang lebih manusiawi, lebih inklusif, dan lebih selaras dengan nurani rakyat.Suntikan dana dari keluarga Haji Isam semoga bukan hanya soal untung-rugi.

Tapi menjadi awal dari sebuah transformasi—yang lebih manusiawi, lebih inklusif, dan lebih selaras dengan nurani rakyat.

Penulis:

Merza Gamal

Advisor & Konsultan Transformasi Corporate Culture

Ekonomiberitafuture

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *