Connect with us

News

Opini: Penelitian yang Lebih dari Terbit, Tapi Juga Dihargai


Oleh: Petrus Kanisius Siga Tage


Pengajar pada Prodi Ners Universitas Citra Bangsa, Kupang – Nusa  Tenggara Timur


pinare.online

Publik akademik Indonesia kembali dikejutkan oleh laporan Integrity Risk Index (IRI), sebuah metode pemetaan risiko integritas riset di tingkat institusi pendidikan tinggi dunia.

Indeks ini, yang dikembangkan oleh Profesor Lokman Meho dari American University of Beirut, memanfaatkan dua indikator utama: proporsi artikel yang ditarik kembali dari publikasi (R-Rate) dan presentase publikasi di jurnal-jurnal yang telah dihapus dari basis data Scopus atau Web of Science (D-Rate).

Hasilnya, 13 kampus Indonesia masuk daftar institusi dengan risiko integritas tinggi.

Lima di antaranya bahkan berada dalam kategori “Red Flag” yang mengindikasikan risiko sistemik dalam budaya akademik.

Sebagian kalangan menanggapi laporan ini dengan sikap defensif. Forum Rektor Indonesia, misalnya, mempertanyakan kredibilitas metode yang digunakan dan menuduh bahwa pemetaan ini bisa menjadi upaya untuk menjatuhkan citra kampus dalam negeri.

Namun, Kementerian Ristekdikti justru mengajak seluruh perguruan tinggi di Indonesia untuk menjadikan temuan ini sebagai cermin refleksi dan langkah pembenahan. Sikap ini patut diapresiasi.

Dunia akademik harus bersikap terbuka terhadap kritik dan menjadikannya bahan evaluasi demi masa depan pendidikan yang lebih bermartabat.


Perlu Sikap Kritis

Menariknya, dari daftar tersebut, tidak terdapat kampus dari kawasan Indonesia Timur, termasuk Nusa Tenggara Timur  ( NTT).

Sekilas hal ini tampak positif. Namun absennya NTT dari radar perlu dicermati secara kritis.

Apakah ini menunjukkan bahwa kampus-kampus di NTT memiliki integritas riset yang tinggi? Ataukah justru karena belum banyak kontribusi dalam peta publikasi global?

Ada kemungkinan bahwa kampus-kampus di NTT belum cukup produktif dalam hal riset, sehingga luput dari perhatian indeks global seperti IRI.

Maka ketidakhadiran itu bisa mencerminkan invisibilitas akademik, bukan keunggulan etis.

Dalam beberapa tahun terakhir, pendidikan tinggi Indonesia sedang didorong keras untuk meningkatkan jumlah publikasi ilmiah. Sayangnya, upaya ini sering terjebak dalam logika kuantitas belaka.

Prinsip Goodhart’s Law sangat relevan dalam situasi ini: ketika sebuah indikator dijadikan target, maka nilainya sebagai indikator akan rusak.

Ketika angka publikasi menjadi satu-satunya ukuran kinerja, maka kualitas, relevansi, bahkan etika sering kali dikorbankan.

Akibatnya, banyak publikasi yang masuk jurnal predator, tidak melalui proses review yang sahih, atau bahkan hasil plagiarisme terselubung.

Kampus-kampus di NTT tentu menghadapi tantangan yang berbeda dibandingkan kampus besar di kota-kota besar.

Minimnya fasilitas riset, terbatasnya akses ke jurnal bereputasi, serta beban administratif dosen yang berat menjadi penghalang serius dalam pengembangan riset yang berkualitas.

Namun, dalam keterbatasan itu justru tersimpan peluang: kampus-kampus ini bisa memilih jalur yang jujur dan kontekstual dalam pengembangan riset.

Mereka bisa menjadi model bagi riset yang membumi, yang menyentuh persoalan-persoalan lokal dan dilakukan dengan integritas tinggi.


Peluang di NTT

Kekuatan kampus-kampus di NTT terletak pada kedekatannya dengan masyarakat.

Penelitian-penelitian yang berfokus pada isu agrikultur lokal, krisis air, kemiskinan struktural, pendidikan dasar, atau kesehatan masyarakat bisa menjadi kontribusi bermakna tidak hanya bagi ilmu pengetahuan, tetapi juga bagi pembangunan daerah.

Riset yang seperti ini mungkin tidak cepat terindeks Scopus, tapi dampaknya bisa jauh lebih nyata dan berkelanjutan. Untuk mewujudkan itu, ada beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan.

Pertama, membangun budaya integritas akademik sejak dini di kalangan dosen dan mahasiswa.

Pelatihan tentang etika publikasi, manajemen data, dan anti-plagiarisme harus menjadi bagian wajib dalam proses akademik.

Lebih dari sekadar pelatihan teknis, penting untuk menumbuhkan kesadaran bahwa menulis ilmiah bukan soal mengejar angka kredit, tapi soal tanggung jawab terhadap kebenaran ilmiah dan kontribusi sosial.

Selanjutnya, perguruan tinggi di NTT perlu mengembangkan mekanisme penjaminan mutu riset yang kokoh.

Komite etik riset harus dibentuk bukan sebagai formalitas, tapi sebagai institusi aktif yang mengawal proses akademik agar tetap sesuai nilai-nilai kejujuran dan obyektivitas.

Pendampingan dalam penulisan ilmiah juga perlu digalakkan, termasuk pembinaan terhadap jurnal-jurnal lokal agar perlahan-lahan memenuhi standar akreditasi nasional dan internasional.

Penguatan jejaring kolaborasi juga sangat krusial. Kampus-kampus di NTT sebaiknya aktif menjalin kerja sama riset lintas wilayah dan lintas negara.

Ini tidak hanya membuka akses ke sumber daya dan pengalaman, tetapi juga meningkatkan standar kerja ilmiah dan memperluas wawasan akademik sivitas kampus.

Namun yang tak kalah penting adalah mengubah paradigma penilaian kinerja dosen dan institusi. Fokus pada kuantitas harus digeser ke kualitas dan relevansi.

Ketika integritas dijadikan indikator utama dalam evaluasi akademik, maka dosen dan peneliti akan termotivasi untuk bekerja secara bertanggung jawab dan berorientasi pada kebermanfaatan, bukan semata-mata publikasi.

Pendidikan tinggi bukanlah arena produksi massal artikel ilmiah. Ia adalah tempat di mana nilai-nilai keilmuan, kejujuran, dan tanggung jawab ditanamkan dan dikembangkan.

Kampus-kampus di NTT punya kesempatan besar untuk menjadi pelopor dalam membangun ekosistem riset yang bukan hanya produktif, tapi juga terhormat.

Di tengah sorotan pada berbagai penyimpangan akademik, inilah momen untuk menunjukkan bahwa dari pinggiran Indonesia, bisa lahir praktik akademik yang jujur dan berkualitas.

Integritas bukan sesuatu yang bisa diukur hanya dari berapa banyak artikel yang kita hasilkan, tetapi dari bagaimana kita menjaganya agar tetap utuh dalam proses.

Riset yang baik bukan hanya yang terbit, tapi yang juga terhormat. (*)

Simak terus berita
pinare.onlinedi Google News

Pendidikanberitafuture

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *