News
Membangun Kedekatan Keluarga, Kembali ke Meja Makan

M Yani
, Guru Besar bidang Kedokteran Keluarga pada FK USK dan FK Unaya, dan Mantan Deputi Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN Pusat
PERINGATAN
Hari Keluarga Nasional (Harganas) baru saja berlalu, apa makna dari peringatan Harganas tersebut mungkin tidak semua memahami atau menyadarinya. Terdapat harapan besar pemerintah dan rakyat Indonesia dari peringatan tersebut, yaitu "Dari Keluarga untuk Indonesia Maju". Ada asa bangsa ini untuk melompat menjadi negara maju yang diharapkan terwujud pada saat Indonesia merayakan 100 tahun kemerdekaan, "Indonesia Emas". Tentu harapan ini bukanlah harapan kosong belaka. Para ahli ekonomi dunia telah memperkirakan bangsa Indonesia memang memiliki kesempatan untuk meraihnya dengan memanfaatkan bonus demografi.
Pengertian bonus demografi mungkin belum semua orang memahaminya, apa yang dimaksud dengan bonus Demografi? Secara gamblang bonus demografi diartikan bahwa Indonesia mempunyai jumlah "anak muda," angkatan kerja yang melimpah melebihi jumlah proporsi penduduk yang menjadi tanggungan (anak dan lansia), namun sebaliknya bila anak muda, angkatan kerja yang kita miliki merupakan angkatan kerja tidak berkualitas, kurang berpendidikan, tidak memiliki keterampilan, berkarakter negatif, lemah tidak mempunyai daya juang atau saing, tentu bencana demografi yang kita dapatkan, mereka bagaikan buih di lautan, tidak kokoh dan mudah terprovokasi.
Untuk menyahuti kondisi ini, para ahli berpendapat, pendidikan menjadi kunci utama. Selain di bangku sekolah, pendidikan keluargalah wahana pertama dan utama, terutama untuk pendidikan karakter anak. Melalui Harganas tahun kita coba melakukan refleksi diri melihat bagaimana kondisi keluarga Indonesia, keluarga kita saat ini.
Apakah kita telah menjadikan keluarga sebagai tempat pendidikan dini bagi anak-anak kita? Apakah peran anggota keluarga terutama peran ayah dan ibu telah berjalan baik? Bersamaan dengan peringatan Harganas tahun ini juga kita kaitkan dengan keprihatinan PBB dan Unicef yang menyebutkan terdapat 102 dari setiap 100.000 anak di seluruh dunia hidup terpisah dari orang tua mereka, di panti asuhan, tanpa keterlibatan keluarga atau orang tua dalam pengasuhan.
Keterlibatan keluarga, orang tua terbukti sangat bermanfaat bagi perkembangan mental dan karakter anak.(Lancet, Juni 2025). Telah banyak bukti bahwa pengasuhan yang tidak melibatkan keluarga, anak-anak lebih rentan mengalami pengucilan sosial, kesulitan dengan penggunaan alkohol dan narkoba, pornografi, gangguan mental serta mengalami kekerasan, penangkapan, dan penahanan.
Keterlibatan dan keeratan hubungan keluarga ternyata faktor yang dapat mencegah permasalahan anak atau remaja di atas. Saya ingin mengajak untuk melihat lebih dini sebelum semua akibat di atas terjadi, sebuah upaya preventif yang dapat dilakukan keluarga. Salah satu kondisi sosial saat ini, di Era Revolusi Industri 4.0 (Klaus Schwab) penggunaan gadget, smartphone yang meluas telah memasuki relung kehidupan keluarga dan mengancam keeratan hubungan keluarga merenggut waktu kebersamaan keluarga.
Ketersediaan waktu luang, kebersamaan anggota keluarga, perhatian dan kepedulian orang tua bersama anggota keluarga, dalam memanfaatkan waktu berkualitas yang terbukti dapat meningkatkan relasi antara keluarga, keeratan orang tua dan anak, dan berfungsi sebagai penangkal berbagai persoalan anak dan remaja saat ini ikut melemah dengan kondisi keluarga saat ini.
Kondisi ini dapat dilihat dari maraknya kasus pornografi pada anak, hasil penelitian Fakultas Psikologi dan Bagian Neurologi FK UI dan RS Cipto Mangunkusumo mendapat anak kelas 3 SD telah kecanduan pornografi, dan yang menyedihkan dari pemeriksaan scanning otak anak yang kecanduan pornografi mengalami kerusakan otak depan. Otak depan yang membedakan manusia dengan hewan. Di samping pornografi, buli (bullying), kekerasan, geng motor yang keresahan masyarakat, merupakan contoh konkret dari merenggangnya.
Keeratan keluarga akibat pengaruh penggunaan gadget yang tidak terkontrol, lemahnya kontrol orang tua atau keluarga pada anak. Tentunya smartphone atau gadget tidak satu-satunya faktor penyebab dalam hal ini, banyak faktor lain yang ikut berperan. Seperti pengetahuan dan kepedulian orang tua, masyarakat, ekonomi memudahkan terjadinya dampak jelek pada anak. Upaya penyembuhan dan rehabilitasi jauh lebih sulit dan membutuhkan biaya mahal, tenaga dan perhatian orang tua yang jauh lebih besar dibandingkan dengan upaya pencegahan lewat membangun kebersamaan dan perhatian orang tua.
Membangun bonding
Saat ini keeratan hubungan keluarga harus kita akui telah sangat berkurang, aturan keluarga terkikis, longgar, peran orang tua melemah, perhatian terhadap anak semakin jauh, hak anak semakin terabaikan. Tidak heran bila anak lebih nyaman berdekatan dengan smartphone atau mencari, bergabung dengan peer group dengan resiko, bila anak menemukan teman sekelompok yang baik, mungkin anak akan selamat namun sebaliknya akan terjadi bila anak mendapatkan peer group yang salah, hal yang tidak kita inginkan akan terjadi. Kebersamaan keluarga ibarat “barang mewah “di tengah keluarga saat.
Kebersamaan, memberikan waktu luang kepada keluarga bukan suatu keniscayaan saat ini. Kita dapat mengambil pelajaran dari kebiasaan yang ada di tengah masyarakat dahulu mungkin mulai hilang dari budaya lokal. Sebagai contoh kebiasaan dimana anggota keluarga berkumpul pada saat magrib, kondisi ini dapat dijadikan momen untuk membiasakan kembali berkumpul bersama keluarga, menggunakan waktu yang berkualitas untuk membangun kebersamaan, mendidik melindungi dan perkuat peran terutama peran orang tua.
"Kembali ke meja makan", sebuah program pernah diluncurkan BKKBN, untuk memupuk kebersamaan anggota keluarga. Program ini diluncurkan pertama kali pada tahun 2018 yang lalu bersamaan dengan program 18-21 dari Pemkot kota Padang. Pemerintah Kota Padang saat itu telah memulai program dimana keluarga berkumpul dari pukul 18.00 WIB hingga 21.00 WIB tanpa TV dan Gadget. Kesempatan inilah yang digunakan orang tua membangun bonding dengan anak-anaknya.
Artinya adalah upaya untuk menciptakan atau mempererat ikatan emosional dan sosial antara individu atau kelompok. Dalam konteks keluarga, ini berarti membangun hubungan yang kuat dan penuh kasih antara orang tua dan anak. Seperti halnya melakukan shalat berjamaah, menanamkan nilai-nilai pekerti, membangun karakter termasuk daya saing. Program ini hanya sebuah contoh dari tindak lanjut Program Kembali ke Meja Makan dimana keluarga sepakat menentukan waktu kebersamaan, dapat pada saat makan malam semua anggota keluarga berkumpul, saling berinteraksi, menjauhkan smartphone, fokus pada anggota keluarga.
Program bersama seperti di kota Padang dimaksudkan untuk dijadikan contoh bagi daerah lain di Indonesia untuk membangun keeratan keluarga. Sayangnya program percontohan ini belum dapat maksimal berjalan. Program Kembali ke Meja Makan masih membutuhkan sosialisasi masif dukungan pemerintah daerah. Dengan semakin banyak pihak yang terlibat diharapkan program Kembali ke Meja Makan dapat diwujudkan di Indonesia, khususnya di daerah Aceh.Sosialberitafuture
