News
Setengah Hati, Wajah Kekerasan di Sekitar Kita

Oleh: Fahrul Dason
Ketua Umum BEM FAI Unismuh Makassar
pinare.online
– KABAR gembira datang dari dunia musik Indonesia: Peterpan atau Noah akan kembali menghibur para fansnya melalui konser di berbagai daerah.
Siapa yang tak kenal band legendaris ini, dengan lagu ikoniknya berjudul Separuh Aku yang begitu membekas bagi generasi 2000-an seperti saya.
Uniknya, pertama kali mendengar lagu ini justru tidak melalui MP3, CD Player, apalagi menonton konsernya, melainkan dari tempat yang tak terduga: seperti area penyewaan Playstation.
Di sela-sela game bola, saat pemain sibuk menyusun formasi klub pamungkasnya, disaat yang sama juga terdengar lirik yang menusuk: “Dan terjadi lagi, kisah lama yang terulang kembali.”
Ironisnya, lirik itu kini terasa begitu relevan untuk hal yang lebih serius: intoleransi. Seperti lagu itu, ia terulang lagi.
September 2024, Kota Parepare menjadi sorotan nasional akibat mencuatnya berbagai penolakan pembangunan Sekolah Kristen Gamaliel oleh kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama.
Namun yang mengherankan, di tengah produktivitas: seperti ruang diskusi terbuka, organisasi hidup, dan gerakan aktivis berjalan.
Parepare justru dinobatkan sebagai kota paling intoleran di Indonesia berdasarkan Indeks Kota Toleran (IKT) yang rilis oleh Setara Institute.
Parepare meraih skor terendah, yaitu 3,946, dari 94 kota yang dinilai dalam IKT.
Hal tersebut tentu sangat memalukan. Kota yang berslogan “kota cinta” itu, justru berubah menjadi kawasan yang tidak begitu menghargai perbedaan.
Pengalaman ini tidak tunggal, baru-baru, hal serupa juga terjadi di Sukabumi, Jawa Barat, tepatnya Juni 2025.
Di mana sekelompok orang diduga membubarkan aktivitas ibadah-yaitu dengan menghancurkan dan merusak bangunan.
Keadaan ini tidak disebabkan oleh kelalaian individu, atau kelompok. Tetapi menjadi bagian dari gejala sistemik dari masyarakat. Dalam pandangan sosiologi, intoleransi terjadi sebab adanya kontruksi sosial.
Seperti yang dijelaskan oleh sosiolog Peter L. Berger dan Thomas Luckmann melalui bukunya berjudul The Social Contruction of Reality (1966), bahwa identitas dan cara pandang seseorang dibentuk melalui proses belajar dan interaksi sosial.
Dalam masyarakat, pandangan terhadap kelompok minoritas sering kali diwarisi secara turun-temurun. Sehingga membentuk stigma dan prasangka.
Kasus intoleransi di Sukabumi misalnya, muncul karena sebagian warga percaya bahwa ibadah Kristen hanya boleh dilakukan di gereja, bukan di rumah singgah.
Keyakinan itu bukan bersumber dari fakta, tapi dari kontruksi sosial yang diwariskan.
Inilah yang disebut sebagai kontruksi sosial yang disfungsional-ketika masyarakat menganggap perbedaan adalah ancaman.
Lain sisi, intoleransi juga terjadi dikarenakan pada relasi sosial yang timpang-yakni, ketika mayoritas berupaya mendominasi atas ruang publik.
Apa yang terjadi di Parepare dan Sukabumi, secara pola persis sama. Lalu kenapa, seperti Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua menurut Indeks Kerukunan Umat Beragama (IKUB) lebih toleran?
Hal ini terjadi karena keberagaman menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat di sana.
Seperti yang Robert Hefler, ahli antropolog itu temukan, bahwa wilayah bagian timur Indonesia khususnya Maluku dan Papua, tidak selalu dibaca dalam kerangka “mayoritas.”
Menurutnya, di sana telah membentuk semacam civic pluralism-yakni keragaman agama, dan bahasa dianggap sebagai kewajaran dan menjadi bagian dari identitas kolektif.
Intoleransi sebagai Gejala Ketimpangan Struktural
Dalam masyarakat plural, memang intoleransi lebih berpotensi terjadi dibandingkan daerah-daerah yang masyarakatnya homogen.
Sehingga pemerintah, harus lebih mampu memperhatikan isu-isu perbedaan ini dengan serius. Jika kita melihat berbagai data intoleransi yang terjadi, bukan main-main lagi angkanya.
Sepanjang 2024, Setara Institute mencatat 402 pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan-naik tajam dari tahun sebelumnya-dengan pelaku utama aparat negara dan ormas keagamaan.
Lonjakan intoleransi, penggunaan pasal penodaan agama, dan gangguan tempat ibadah mencerminkan melemahnya perlindungan negara dan menguatnya konservatisme sosial.
Hal ini terjadi karena ketidakmampuan pendidikan memberi pengetahuan akan perbedaan dan keragaman, faktor ekonomi dan pendistribusian yang memicu kecemburuan sosial, seperti yang terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah, ketika konflik antarsuku Madura vs Dayat pecah dan memakan banyak korban.
Tidak hanya itu, intoleransi juga cenderung disengaja karena konflik kepentingan dalam politik.
Umpamanya, ketika terjadi kerusuhan Mei 1998-di mana kekerasan massal, pemerkosaan, dan diskriminasi, sebetulnya untuk menutupi kebusukan pemerintah Orde Baru.
Inilah yang disebut sebagai agitasi politik yang berfungsi mengubah arah opini masyarakat untuk mengaburkan peristiwa yang lebih besar.
Terakhir, senada dengan lagu Separuh Aku, dalam bait kedua berbunyi-“Aku ingin kau merasa, kamu mengerti. Aku mengerti kamu.” Bahwa hidup ini, bagi Peterpen kuncinya hanya saling mengerti saja.
Sosialberitafuture
